Dipanagara Bermalam di Fort Ontmoeting

Kisah sebuah benteng kecil yang pernah menjadi tempat bermalam Sang Pangeran sebagai tawanan pasca berakhirnya Perang Jawa.
Ketika Dipanagara Bermalam di Fort OntmoetingRumah Komandan dalam kompleks Fort Ontmoeting atau Fort Oenarang yang berlokasi di Ungaran, tepian jalan raya Semarang-Ambarawa, Jawa Tengah. Pangeran Dipanagara, sebagai tawanan, pernah diinapkan dan bersantap malam bersama perwira Hindia Belanda di benteng empat bastion ini pada 28 Maret 1830. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)
Hujan deras dengan kilat menyambar-nyambar. Kami berlari menerobos dera hujan dari barak garnisun melewati tepian langkan Fort Ontmoeting. Lalu, menyelamatkan diri menuju sebuah rumah dengan jendela-jendela lebar dalam kompleks benteng tersebut.
“Itu Gunung Sewakul, Gunung Kalong, terus hutan pinus, dan itu Gunung Tegalepek yang dibelah jalan tol,” ujar M.A. Soetikno di teras balkon kayu bekas rumah komandan benteng. Dia menunjuk satu per satu bentang alam di sisi timur benteng kecil tersebut. Syahdan, dia berbalik arah dan berkata, “Kalau itu Gunung Ungaran, ada kebun cengkeh dan pala di sana.”
Soetikno merupakan seorang perupa dan budayawan asal Ungaran, yang juga Ketua Lembaga Pelestarian Cagar Budaya Nusantara Ratu Shima. Bersama warga kota, dia berupaya melestarikan tinggalan bersejarah yang tersebar di Ungaran dan sekitarnya.
Fort Ontmoeting atau Fort Oenarang merupakan benteng kecil bercat putih dengan empat bastion. Berlokasi di Ungaran, tepian jalan raya Semarang-Ambarawa, tak jauh dari pecinan kota itu. Pintu Gerbang utama benteng ini berhias sepasang pilaster bergaya doric yang mengangkang kokoh. Di atasnya terpampang angka Romawi “MDCCLXXXVI” atau 1786.
Bekas rumah komandan itu berada di kompleks benteng. Bertembok tebal dan bergaya indis dengan atap genting, sebuah perpaduan Eropa dan tropis. Lantai atasnya, terbuat dari lembaran-lembaran kayu jati yang tak rapuh karena usia, berhias pilar-pilar bergaya tuskan.
Fort Ontmoeting atau Fort ...Fort Ontmoeting atau Fort Oenarang, dibangun pascapertemuan antara Gubernur Jenderal Baron von Imhoff dan Susuhunan Pakubuwana II. Menurut arsip VOC di ANRI, benteng ini direnovasi besar-besaran pada 1784-1786. Foto menunjukkan tampak pintu gerbang sisi timur dengan anjungan rumah komandan pada 1933. Dipanagara pernah singgah di benteng ini ketika mengawali perjalanannya sebagai tawanan perang, 28 Maret 1830. (Tropenmuseum/Wikimedia)
Ada dua tangga batu yang berpadu untuk mengantar siapa saja yang hendak ke lantai dua. Tampaknya tangga inilah yang pernah dijejaki Pangeran Dipanagara pada sore 28 Maret 1830 tatkala menghabiskan malam pertamanya sebagai tawanan perang.
Setelah Perang Jawa berakhir dengan cara yang memalukan di Wisma Residen Magelang, Dipanagara menjadi tawanan perang pemerintah Hindia Belanda. Sang Pangeran itu sejatinya tidak pernah tertangkap, melainkan terperangkap.
Dalam demam malaria, Sang Pangeran melakukan perjalanan panjang sebagai tawanan ke Semarang. Dari Magelang, dia dan rombongannya meniti perjalanan menggunakan kereta kuda yang dikawal pasukan kavaleri menuju tepian Bedono, daerah dalam Karesidenan Semarang.
Lantaran jalanan yang berliku dengan medan perbukitan yang tidak ramah, Sang Pangeran dipindahkan dalam tandu. Iring-iringan itu meniti jalanan terjal menuju Jambu dengan jalan kaki. Perjalanan menuju Semarang pun berlanjut dengan kereta kuda lagi yang telah disiapkan sebelumnya. Rombongan singgah ke Fort Ontmoeting untuk bermalam, beberapa kilometer jelang Semarang.
Kini, perjalanan Magelang-Ungaran hanya ditempuh sekitar dua jam. Namun, lebih dari 180 tahun silam, perjalanan membutuhkan waktu setengah hari untuk sampai Ungaran. Dipanagara dan rombongannya tiba di benteng itu kala matahari terbenam.
Sketsa Penangkapan Dipanagara ...Sketsa Penangkapan Dipanagara di Wisma Residen Magelang karya Raden Saleh yang jarang diketahui publik. Sketsa ini disempurnakan Raden Saleh untuk lukisan adikarya. Dalam perjalanannya ke tempat pengasingan,  Dipanagara singgah di Ungaran, Semarang, Batavia kemudian berlayar menuju Manado. Namun,lantaran keadaan politik, Sang Pangeran dipindahkan dari Manado ke Makassar. (Koleksi Atlas van Solk, Rotterdam, Belanda; atas jasa baik Werner Kraus)
“Dipanagara diperbolehkan untuk salat di suatu tingkat benteng kecil Belanda, salat magrib pertama baginya sebagai seorang pengasingan,” ungkap Peter B.R. Carey dalam The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785-1855. Buku tersebut terbit pertama kali pada 2007, kemudian disusul oleh edisi dalam bahasa Indonesia yang terbit pada 2012—sebuah mahakarya atas penelitian yang dilakukan Carey sekitar 40 tahun terakhir.
Dua perwira, Mayor François Vincent Henri Antoine ridder de Stuers (1792-1881) dan Kapten Johan Jacob Roeps (1805-1840), menjadi pengawal yang selalu mengawasi Sang Pangeran sejak dari Magelang. De Stuers merupakan ajudan dan sekaligus anak menantu De Kock. Sementara Roeps merupakan perwira Belanda yang fasih berbahasa Jawa. Selama satu jam, Dipanagara makan malam bersama komandan benteng dan dua perwira tersebut.
Selama santap malam bersama itu Dipanagara berkisah tentang panglima perangnya yang masih muda, Ali Basah Mertanegara, yang juga merupakan menantunya. Menurut catatan De Stuers, seperti yang dikutip Carey dalam buku mahakaryanya, di meja makan itu tampaknya Dipanagara paham sekali dengan tata krama Eropa. “Baru kali itu saya melihat seorang pangeran dari Keraton Yogyakarta duduk dan makan di meja dengan begitu wajarnya,” ungkap De Stuers.
Di bastion barat laut benteng itu terdapat penjara, namun Dipanagara tidak pernah ditempatkan dalam penjara—bahkan selama pengasingannya di Batavia, Manado dan Makassar. Meskipun Hindia Belanda menjulukinya sebagai pemberontak, Sang Pangeran diperlakukan sebagai tawanan terhormat.
Pasukan kavaleri yang mengangkut Dipanagara dan rombongannya melanjutkan perjalanan. Mereka tiba di Semarang pada Senin malam, 29 Maret 1830. Selama seminggu Sang Pangeran menginap di Wisma Residen di Bojong—kini rumah dinas Gubernur Jawa Tengah.
Penampang melintang denah Fort ...Penampang melintang denah Fort Ontmoeting atau Fort Oenarang pada 1825, dalam orientasi arah ke selatan. Tanda kuning menunjukkan rumah komandan benteng, tempat Dipanagara menunaikan salat magrib yang pertamanya sebagai tawanan, tampaknya juga tempat Sang Pangeran bersantap malam bersama perwira Belanda ("Plan en profil van het fort Oenarang." 6 December 1825 Vervaardiging: "Weltevreden den 6 December 1825, getekend door H. Martens." Verwerving: Aanwinsten 1876, Verzameling Schneither, Nationaal Archief Leiden; atas jasa baik Rick van den Dolder)
Denah Fort Ontmoeting atau Fort ...Denah Fort Ontmoeting atau Fort Oenarang pada 1825, orientasi arah ke utara. Legenda: A: Rumah komandan (tanda kuning), B: Barak, C: Ruang Penjaga, D: Provost, E: Latrine (toilet) untuk serdadu biasa, FG: Ruang tahanan, HH: Bangunan luar dari rumah komandan, I: Gudang Mesiu, K: Latrine (toilet) untuk komandan. ("Plan en profil van het fort Oenarang." 6 December 1825 Vervaardiging: "Weltevreden den 6 December 1825, getekend door H. Martens." Verwerving: Aanwinsten 1876, Verzameling Schneither, Nationaal Archief Leiden; atas jasa baik Rick van den Dolder)
Benteng tempat Sang Pangeran dan rombongannya bermalam itu merupakan tinggalan VOC. Semasa Dipanagara lahir, Fort Ontmoeting direnovasi secara besar-besaran pada 1784-86, sehingga menemukan bentuknya seperti saat ini.
Nama benteng itu mengabadikan warisan sejarah untuk Vorstenlanden, tanah raja-raja Jawa. Pada 1746, Gubernur Jenderal Gustaf Willem Baron von Imhoff—asal Jerman—melakukan kunjungan inspeksi ke Jawa untuk mengetahui keadaaan pesisir Jawa. Bersama Susuhunan Pakubuwono II, Sang Gubernur melakukan pembicaraan serius tentang kemungkinan hadiah tanah yang dijanjikan Susuhunan di Pantai Utara. Hadiah tersebut sebagai konsekuensi Perjanjian Ponorogo 1743 karena jasa baik VOC dalam memadamkan “Geger Pacinan”, pemberontakan orang-orang Cina yang meluas hingga ke Jawa.
Pertemuan tersebut terjadi pada 11 Mei 1746 atau sekitar seminggu sebelum berkobarnya Suksesi Perang Jawa III. Perebutan kekuasaan di Jawa tersebut berakhir dengan terbelahnya Mataram menjadi dua bagian pada 1755: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Meskipun belum lahir, Dipanagara tampaknya tahu soal peristiwa gemuruh suksesi di Jawa Tengah bagian selatan ini.
Pertemuan dua petinggi berbeda kebangsaan itulah yang menginspirasi nama benteng tersebut menjadi “Ontmoeting” yang bermakna “Benteng Pertemuan”.
Kini, Fort Ontmoeting telah “berdandan” dan digunakan sebagai Balai Pertemuan Polisi dan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Tengah—mungkin masih menyimpan semangat dari nama sejatinya. Sayangnya, masyarakat umum sulit mendapatkan akses masuk ke bangunan bersejarah ini.
M. A. Soetikno, seorang perupa ...M.A. Soetikno, seorang perupa dan pegiat budaya pada Lembaga Pelestarian Cagar Budaya Nusantara Ratu Shima di Ungaran. Di lantai dua rumah komandan Fort Ontmoenting, sekitar tempat Soetikno berdiri, Dipanagara menunaikan salat magrib pertamanya sebagai seorang tawanan perang. Tampaknya di bagian rumah ini pula Dipanagara bermalam, bukan di bilik penjara benteng. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)
“Namun sekarang kondisinya sudah berubah,” ujar Soetikno dengan masam. “Itu sudah menjadi pro-kontra.” Kemudian dia memberikan alasan dari pernyataannya, renovasi benteng beberapa tahun lalu telah mengubah keasliannya. Kulit dinding yang awalnya dari campuran kapur dan batu bata halus telah dikupas semua dan berganti plester semen, demikian ungkap Soetikno. “Padahal menurut aturan harus dikembalikan sesuai bahan-bahan aslinya.”
Dari jendela lantai atas rumah komandan, Soetikno menunjuk halaman tengah benteng. “Granit-granit orisinal dan terakota sudah habis diganti keramik,” ujarnya. “Kusen dan daun pintu diganti tanpa memperhatikan benda cagar budaya semestinya.”
“Apapun yang terjadi kita tetap berupaya, bagaimana bangunan itu bisa difungsikan sebagai museum—syukur bisa dikembalikan seperti semula,” ujar Soetikno. “Kita melihat sisi jalan ke arah sana.
Mahandis Yoanata Thamrin Journalist | Text Editor National Geographic Indonesia

No comments: