6 November; Meninggalnya Cut Nyak di Pengasingan

Christine Hakim saat memerankan Cut Nyak Dhien dalam film perjuangan srikandi Aceh. @YouTube
Christine Hakim saat memerankan Cut Nyak Dhien dalam film perjuangan srikandi Aceh. Belanda yang geram dengan perlawanan Cut Nyak dan pasukannya terus memburu anak Nanta Setia tersebut hingga ke pelosok daerah KAMAR
tersebut berukuran 3x5 meter sementara ranjangnya berukuran 2x2 meter. Di kamar inilah Cut Nyak Dhien, srikandi asal Aceh tersebut melewati masa tuanya.
Rumah ini terletak di jalan P. Suriaatmaja, Sumedang, Jawa Barat tepatnya di belakang Masjid Agung Sumedang. Dulu rumah tersebut menjadi tempat warga belajar mengaji pada Ibu Perbu--julukan Cut Nyak Dhien oleh warga Sumedang. Rumah ini lantas direhab pada 1979 dengan ukuran 12x14 meter dan tinggi 1 meter.
Saat Cut Nyak Dhien diasingkan dari tanah kelahirannya, Aceh, ke Sumedang, penguasa daerah saat itu berada di tangan Pangeran Aria Suriaatmaja. Kondisi Cut Nyak yang telah renta membuat Pangeran menugaskan seorang ulama Masjid Agung Sumedang, KH Sanusi, merawat istri Teungku Ibrahim Lamnga dan Teuku Umar tersebut.
Namun saat itu rumah KH Sanusi sedang diperbaiki dan untuk sementara waktu Cut Nyak Dhien dititipkan selama tiga minggu di rumah H. Ilyas. Setelah rumah KH Sanusi diperbaiki, baru dibawa kembali ke rumah KH Sanusi.
Cut Nyak berada di bawah perawatan KH Sanusi selama setahun karena ulama Masjid Agung tersebut meninggal. Selanjutnya, anak KH Sanusi, H Husna, meneruskan perawatan Cut Nyak Dhien hingga pahlawan asal Aceh itu meninggal dunia pada 6 November 1908.
Ibu Perbu lantas dimakamkan di kompleks makam keluarga H Husna, di Gunung Puyuh, Desa Sukajaya, Sumedang Selatan.
+++
CUT Nyak Dhien lahir di Lampadang, wilayah VI Mukim dengan ibukotanya Peukan Bada sekitar tahun 1850. Kampung ini termasuk wilayah VI Mukim dengan ibu kotanya Paukan Bada. Wilayah VI Mukim terletak di pantai utara bagian barat Aceh Besar. Di bagian utara wilayah ini berbatasan dengan laut dengan Ulee Lheue sebagai pelabuhannya. Antara Tanjung dan Ulee Lheue terdapat sebuah danau yang tenang, dan dapat dipakai untuk berlabuh perahu dan kapal.
Di bagian timur wilayah ini, yaitu yang berbatasan dengan Meuraksa terdapat Kampung Bitai dan Lamjamu. Di bagian selatan dan barat daerah ini dipagari oleh Pegunungan Ngalau Ngarai Beradeun. Di bagian pantainya terdapat Kampung Lamtengoh, tempat kelahiran penyair Aceh terkenal Dulkarim (Abdul Karim). Di Kampung Lampagar terdapat makam Sultan Sulaiman dan Lamteh yang dihancurkan oleh serangan Belanda dalam tahun 1875.
Di bagian selatan Peukan Bada, di samping Cut Cako terdapat Ngalau Ngarai Beradin, sebuah tempat yang strategis dan menjadi tempat bertahan pejuang Aceh dan kemudian Kampung Lampisang tempat Cut Nyak Din dan Teuku membangun rumah tangga setelah kembali dari pengungsian.
Ayah Cut Nyak Dhien bernama Nanta Muda Seutia, berasal dari turunan Makhdum Sati, seorang perantau dari daerah Sumatra Barat. Ia adalah cikal-bakal yang membangun wilayah VI Mukim menjadi lebih terkenal dan makmur.
Ibunya seorang turunan bangsawan yang terpandang dari Kampung Lampagar. Karena istrinya inilah maka nama Nanta Muda Seutia makin terkenal dan dihormati oleh rakyat VI Mukim.
Sebelum Nanta menjadi uleebalang, wilayah VI Mukim dipimpin oleh Uleebalang Teuku Nek dan pusat kedudukannya berada di Meuraksa. Ia menjalankan pemerintahan wilayah VI Mukim kurang adil dan kurang bijaksana. Rakyat sangat tertekan dan menderita oleh tindakan pemerasan yang dilakukan oleh Teuku Nek.
Karena praktek yang merugikan ini, ia tidak disenangi oleh rakyat VI Mukim. Pada abad ke-I 7 kekuasaan Aceh telah meluas sampai ke Sumatra Barat. Daerah ini sangat penting artinya bagi Aceh baik dalam bidang politik maupun dalam bidang ekonomi. Dalam bidang politik berarti Aceh telah menanamkan kekuasaannya dan daerah ini merupakan "vazal".
Sedangkan dalam bidang ekonomi daerah ini merupakan penghasil lada yang sangat penting dalam pasaran dunia dan dengan menguasai daerah tersebut berarti dapat menarik keuntungan yang banyak bagi Aceh. Karena perkembangan ini Ratu Tajjul Alam mengangkat Uleebalang Panglima Nanta untuk mengatur dan mengawasi daerah vazal ini.
Salah seorang keturunannya, ialah Makhdun Sati. Dalam tubuh Makhdun Sati mengalir darah Aceh dan darah Minangkabau.
Cut Nyak Dhien tidak lama menikmati masa remaja karena dalam usia yang sangat muda telah dikawinkan oleh orang tuanya. Perkawinan ini sesungguhnya tidak terlepas dari cita-cita orang tuanya untuk meneruskan kedudukan mereka sebagai penguasa di wilayah VI Mukim.
Tetapi berkat bimbingan orang tua dan atas kebijaksanaan suaminya, Teuku Cik Ibrahim Lamnga, Cut Nyak Dhien tumbuh menjadi manusia dewasa dan dapat mengikuti irama rumah tangga yang dibina bersama suaminya. Dalam rumah tangga ia menjadi seorang istri yang bijaksana, sabar dan dapat mendorong suami untuk maju dengan sumbangan pikiran yang diberikannya.
Ia mampu tampil tenang dan rela berpisah dengan suaminya selama kurang lebih dua setengah tahun ketika tentara Belanda melancarkan serangan ke wilayah VI Mukim. Ia bersama anaknya yang masih bayi dan orang tuanya turut serta bersama rakyat meninggalkan kampung untuk menghindari kejaran musuh. Semua yang dialaminya dalam pengungsian menambah ketabahan dan kekokohan hatinya untuk menghadapi segala cobaan.
Semangatnya makin tertempa dan mulailah tumbuh suatu benih perlawanan yang terus mekar dalam dadanya terhadap kolonialisme Belanda. Kehadiran Teuku Umar di sampingnya makin membawa pengharapan setelah suaminya, Teuku Chik Ibrahim Lamnga gugur.
Sejak menikah dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien terus berada di sisinya memimpin serangan terhadap Belanda. Saat Teuku Umar tersesat dan mengkhianati perjuangan rakyat Aceh, Cut Nyak Dhien pula yang menyadarkan Ampon tersebut untuk kembali mengibarkan panji Kerajaan Aceh.
Hingga akhirnya Teuku Umar meninggal di Ujong Kala, Meulaboh, 11 Februari 1899 malam.
Tongkat komando lantas beralih ke tangan Cut Nyak Dhien yang bersumpah mengusir Belanda dari Tanoh Rencong. Cut Nyak Dhien terus menerus mendorong dan membangkitkannya. Sehingga semangat juang pengikutnya tetap tinggi biarpun tertekan dalam berbagai penderitaan. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa pengikut setianya Cut Nyak Dhien secara bulat mengucapkan sumpah setia. "Langkahi dahulu mayat kami sebelum menangkap Cut Nyak Dhien."
Operasi-operasi yang dilakukan oleh serdadu Belanda di Wilayah daerah Aceh Barat dan sekitarnya sangat gencar karena itu 1901 Cut Nyak Dhien bersama pengawal setianya bergerak melalui daerah Beutong menuju daerah Gayo (Aceh Tengah) dan kemudian menetap di kampung Celala. Kampung tersebut terletak 30 km di sebelah barat daya kota Takengon.
Kehadiran Cut Nyak Dhien beserta pasukannya mendapat sambutan yang simpati dari rakyat Gayo (Aceh Tengah) yang ditandai dengan rasa suka relanya rakyat menyediakan semua keperluan dan menjamin keamanan Cut Nyak Dhien. Cut Nyak Dhien bertolak kembali ke daerah Aceh Barat dan ia bersama pengikut lama menetap di Beutong Ateuh, daerah ini terletak di perbatasan Aceh Tengah dan Aceh Barat pada 1902.
Cut Nyak Dhien kembali ke wilayah Aceh Barat karena dalam pada 1902 Van Daalen yang ambisius itu mengerahkan kekuatan tempurnya ke daerah Gayo (Aceh Tengah) dengan tujuan untuk menyapu bersih perjuangan rakyat Gayo. Sejak itulah rakyat Gayo dianggap telah takluk di bawah kekuasaan pemerintah Belanda yang ditandai dibangunnya sarana dan prasarana pemerintahan.
Namun ruang gerak Cut Nyak Dhien dan pasukannya terus menyempit. Belanda yang geram dengan perlawanan Cut Nyak dan pasukannya terus memburu anak Nanta Setia tersebut hingga ke pelosok daerah. Selain itu, bantuan masyarakat untuk kaum pejuang pun kian sulit akibat blokade yang dilakukan Belanda terhadap Cut Nyak Dhien.
Usia Cut Nyak Dhien pun tak lagi muda, matanya sudah mulai rabun dan diserang penyakit encok. Melihat kondisi ini, salah satu kaki tangan Cut Nyak Dhien yang dikenal setia, Pang Laot, menaruh iba kepadanya. Ia lantas melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda.
Mendapat informasi tersebut membuat Belanda senang. Mereka kemudian menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Lhee Sagou. Serangan ini membuat pasukan Cut Nyak yang tersisa terkejut dan bertempur hingga darah penghabisan. Dhien yang sudah uzur dan tidak mampu melihat berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh.
Sayangnya, aksi Dhien berhasil dihentikan Belanda. Ia ditangkap, sementara anaknya Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.
Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di ibukota provinsi. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Setelah sembut, Cut Nyak Dien diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat. Belanda merasa ketakutan karena kehadiran Cut Nyak akan menciptakan semangat perlawanan dari rakyat. Cut Nyak juga kerap berhubungan dengan pejuang-pejuang Aceh yang belum menyerah.
Ia lantas dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian Bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan.
Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu". Cut Nyak Dhien meninggal di pengasingan karena usianya yang sudah tua pada 6 November 1908.
Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959, berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.[] Sumber: Cut Nyak Dhien terbitan Depdikbud 1996.

BOY NA AP

No comments: