Riwayat Dagang Aceh Suatu Masa
Dong xi yang kao yang ditulis pada tahun 1618 mengetahui kejadian-kejadian di Aceh dari beberapa dasawarsa sebelumnya dan mencatat betapa pelabuhan tersebut menarik para pedagang
ACEH memiliki posisi strategis di jalur perdagangan dunia sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam. Ribuan pedagang dari berbagai negara berdatangan ke Aceh yang dikenal kaya akan hasil alamnya. Mulai dari bangsa-bangsa Asia, Eropa bahkan Amerika mengetahui Kerajaan Aceh pada era kejayaannya.
Pedagang-pedagang ini terus “mengerubungi” hasil alam Aceh melalui perdagangan yang saling menguntungkan, hingga niat ingin menguasai hasil bumi daerah ini secara keseluruhan.
Berbagai siasat dijalankan untuk mendapat perhatian Sultan Aceh yang berkuasa. Ada pula yang berniat menjalin hubungan diplomatik dan menyebarkan agama. Berdasarkan catatan Denys Lombard dalam buku Kerajaan Aceh; Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dijelaskan mengenai beberapa bangsa asing yang berdagang di Aceh.
Di antara sekian banyak pedagang tersebut, Denys Lombard mengawali tulisan hubungan dagang Kerajaan Aceh Darussalam dengan bangsa China. Pembuktian adanya hubungan dagang dengan Cina ini dinukilkan Denys Lombard merujuk pada laporan-laporan yang dibuat sesudah ekspedisi sida-sida Zheng He ke lautan selatan.
Istana Aceh masih menyimpan kenangan akan kunjungan yang termahsyur itu; sebuah genta besar yang beraksara Arab dan tulisan China tahun 1409 digantung sebagai tanda kemenangan di kediaman para sultan.
Dalam sebuah panduan lautan China yang diperkirakan berasal sebelum abad ke 17, ada pemerian yang bagus mengenai jalan dari Banten ke Aceh (melalui barat Sumatera); juga mengenai jalur-jalur lintasan dari Aceh ke Malaka dan ke India. Hal ini membuktikan adanya hubungan dagang China di persimpangan Sumatera.
Dong xi yang kao yang ditulis pada tahun 1618 mengetahui kejadian-kejadian di Aceh dari beberapa dasawarsa sebelumnya dan mencatat betapa pelabuhan tersebut menarik para pedagang: “Oleh karena negeri itu jauh letaknya, mereka yang mendatanginya berganda keuntungannya.” Hal senada dicatat pula oleh Sejarah Dinasti Ming.
Bangsa Eropa yang mendatangi Aceh saat itu juga menyebut kehadiran bangsa China. “There are in Achem many Chineses that use trade…and can well inform your Lordship of that worthy kingdom of China… (I meet) a very sensible merchant of China that spake Spanish… Our Baase [nama yang diberikan awak kapal kepada kapten Belanda Van Houtman] disliking that I so much frequented the Chinaes company commended me aboard,” tulis Jhon Davis dalam Purchas, His Pilgrims.
Kesaksian Davis ini dapat diartikan, “Di Aceh pedagang China banyak sekali…; maka saya dapat mengabari Yang Mulia (Earl of Essex) tentang kerajaan China yang luhur itu…; mereka mempunyai kampung khusus seperti bangsa Portugis, Gujarat, Arab…” juru mudi Inggris itu bahkan menjalin persahabatan dengan seorang pedagang China, “yang pandai bicara bahasa Spanyol. Tapi Cornelis de Houtman jengkel melihat keduanya akrab dan Davis dilarang meninggalkan kapal.
Beberapa barang China yang diperdagangkan di Aceh pada masa itu diantaranya bakong China, kertas, dan porselen. Selain itu China juga membawa beras, teh dan kipas ke Aceh untuk diperdagangkan.
Hubungan dagang Aceh dengan China juga dinukilkan Guillaume Dampier. Menurut Dampier China memiliki perkampungan tersendiri di salah satu ujung kota dan dekat laut yang disebut dengan Kampung China.
Di sana, kata Dampier, mereka selalu tinggal dan menurunkan barang-barangnya untuk dijual. Bahkan ada beberapa pengrajin yang datang dari negerinya ke Aceh seperti tukang kayu, tukang mebel, dan tukang cat. Para pengrajin ini langsung membuat koper, peti uang, lemari dan segala macam karya kecil dari China yang kemudian dipamerkan di depan pintu rumah untuk dijual.
Selain China, Kerajaan Aceh juga didatangi pedagang dari tanah Jawa seperti diceritakan Van Neck, kapten yang memimpin perjalanan Belanda kedua ke Nusantara tahun 1598 hingga 1600. Van Neck menyebutkan dia memang tidak berlabuh di pantai Aceh namun dia berjumpa dengan seseorang dari Hamburg yang belum lama berselang mengunjungi tempat itu dan memujinya. Laksamana teman Van Neck ini menceritakan dan menggarisbawahi rasa segan orang Jawa terhadap Aceh.
“Di kota Aceh itu dilakukan perdagangan besar, harus dianggap benar karena hal itu telah dinyatakan oleh semua orang Jawa yang menyenangi dan mengunjungi pelabuhan itu seperti halnya kota dagang kita yang paling termasyhur. Selanjutnya satu-satunya nama yang dapat mereka berikan kepada Pulau Sumatra ialah negeri Aceh.”
Mengenai hubungan dagang antara orang Aceh dengan pedagang dari Pulau Jawa tersebut perlu diteliti lebih lanjut. Apalagi, referensinya sangat sedikit. Selain pernyataan Van Neck, hanya teks Hikayat Aceh yang menyebutkan nama Gampong Jawa ada di Aceh sebanyak dua kali.
Pedagang dari negara Asia lainnya yang kerap mengunjungi Aceh yaitu bangsa Siam. Mereka sering mendatangi Pasai sekitar tahun 1520. Kendati terjalin hubungan dagang dan tidak saling mengganggu antara kedua kerajaan akibat letaknya yang jauh, namun tidak jarang pula persaingan bisnis dan perebutan dominasi pelabuhan berlaku diantara keduanya.
Seperti yang diceritakan Denys Lombard mengutip keterangan Best yang berjumpa dengan seorang utusan dari Siam. Dia memakai nama rajanya mengundang Best dan bangsa Inggris ke Ayuthia. “How joyfull their King would be, if our shipping came to his courts,” kata Best.
Aceh dan Siam juga disebut-sebut memiliki hubungan diplomatik seperti ditulis Lombard.
Prasat Thong, raja Siam yang hendak membalaskan dendamnya kepada pemberontak Patani mencari ketegasan mengenai kenetralan Aceh. Namun hubungan diplomatik tersebut berlangsung singkat. Pada tahun 1688 ada orang-orang Islam Aceh yang datang ke Siam untuk menyebarkan agama Islam. Prihal ini ditulis oleh Wood dalam Sejarah Siam tahun 1926.
Catatan lain mengenai hubungan dagang Kerajaan Aceh dengan pedagang asing juga disebutkan oleh Lancaster yang singgah ke Aceh pada 5 Juni 1602. Dia menghitung sekitar 16 hingga 18 kapal yang berada di pelabuhan Aceh. “Some guzerats, some of Bengala, some of Calicut (called Malabares), some Pegues. Selain itu juga ada kapal-kapal dari Koromandel yang berlabuh di Aceh saat itu dan menandakan adanya hubungan dagang antara India dengan Aceh.
Berbagai barang dibawa oleh pedagang Pegu (India). Salah satu diantaranya tembikar. Begitu pula orang-orang Benggali yang membawa kapas, kain, candu, dan guci besar berisi mentega atau minyak. Mentega dan minyak ini terbuat dari susu kerbau dan menjadi tengik di negeri Aceh namun sangat digemari oleh rakyat ujung Sumatera tersebut.
Pedagang-pedagang dari negeri India tersebut juga mengekspor besi dan baja, kain putih atau berwarna dan beberapa intan, Sebagai gantinya ia mengimpor kemenyan, kamper dan Barus, lada dari Priaman atau dari Tiku, barang porselin atau barang lain dari China serta sutera yang belum diwarnai. Mereka turut membawa ikan asin dan terasi, bandela kapas atau kain tenun. Sama halnya dengan China, pedagang-pedagang Gujarat atau India ini merupakan pemilik toko terbesar di Kota Banda Aceh saat itu.
Bangsa asing lainnya yang mendatangi Aceh yaitu Turki yang mengikat hubungan dagang, diplomatik dan budaya. Turki bahkan menjadi sekutu besar Kerajaan Aceh untuk melawan Portugis dan Belanda.
Selain Turki juga ada bangsa Perenggi atau Eropa. Salah satunya yaitu pedagang-pedagang dari negeri Portugis ini berdatangan sejak Sultan ‘Ala ad-Din Riayat Syah berkuasa di Aceh. Namun, niat mereka berdagang di Aceh dicurigai oleh sultan sebagai langkah menancapkan monopoli dagang di Selat Malaka.
Sebagai bangsa Eropa yang pertama singgah di Aceh, kedatangan pedagang Portugis menjadi pelajaran bagi Sultan ‘Ala ad-Din untuk mencari tahu lebih banyak tentang sejarah bangsa Eropa yang kemudian hari semakin banyak berdatangan ke Selat Malaka.
Tidak hanya Portugis, pedagang-pedagang Prancis, Inggris, Belanda, Spanyol bahkan Amerika sejak saat itu kian sering singgah ke pelabuhan Aceh. Baik di pesisir utara, barat dan juga timur Aceh. Mereka memburu hasil bumi Aceh yang diekspor terutama rempah-rempah seperti cendana, sapang, damar, sari, kemenyan putih, kemenyan hitam, kapur (kamper), akar pucuk, minyak rasamala, kulit kayu masui, lada, cabai keriting (campli puta), bunga lawang (cengkeh), gading, lilin, tali temali dari sabut kelapa dan sutera. Selain itu, Kerajaan Aceh juga dikenal sebagai daerah yang mengekspor gajah dan kuda. Aceh juga menjadi negara pengekspor bubuk mesiu, bedil, pewarna, vermiliun, manjakani, kesumba, hartal, dan tawas.[]
BOY NA AP
ACEH memiliki posisi strategis di jalur perdagangan dunia sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam. Ribuan pedagang dari berbagai negara berdatangan ke Aceh yang dikenal kaya akan hasil alamnya. Mulai dari bangsa-bangsa Asia, Eropa bahkan Amerika mengetahui Kerajaan Aceh pada era kejayaannya.
Pedagang-pedagang ini terus “mengerubungi” hasil alam Aceh melalui perdagangan yang saling menguntungkan, hingga niat ingin menguasai hasil bumi daerah ini secara keseluruhan.
Berbagai siasat dijalankan untuk mendapat perhatian Sultan Aceh yang berkuasa. Ada pula yang berniat menjalin hubungan diplomatik dan menyebarkan agama. Berdasarkan catatan Denys Lombard dalam buku Kerajaan Aceh; Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dijelaskan mengenai beberapa bangsa asing yang berdagang di Aceh.
Di antara sekian banyak pedagang tersebut, Denys Lombard mengawali tulisan hubungan dagang Kerajaan Aceh Darussalam dengan bangsa China. Pembuktian adanya hubungan dagang dengan Cina ini dinukilkan Denys Lombard merujuk pada laporan-laporan yang dibuat sesudah ekspedisi sida-sida Zheng He ke lautan selatan.
Istana Aceh masih menyimpan kenangan akan kunjungan yang termahsyur itu; sebuah genta besar yang beraksara Arab dan tulisan China tahun 1409 digantung sebagai tanda kemenangan di kediaman para sultan.
Dalam sebuah panduan lautan China yang diperkirakan berasal sebelum abad ke 17, ada pemerian yang bagus mengenai jalan dari Banten ke Aceh (melalui barat Sumatera); juga mengenai jalur-jalur lintasan dari Aceh ke Malaka dan ke India. Hal ini membuktikan adanya hubungan dagang China di persimpangan Sumatera.
Dong xi yang kao yang ditulis pada tahun 1618 mengetahui kejadian-kejadian di Aceh dari beberapa dasawarsa sebelumnya dan mencatat betapa pelabuhan tersebut menarik para pedagang: “Oleh karena negeri itu jauh letaknya, mereka yang mendatanginya berganda keuntungannya.” Hal senada dicatat pula oleh Sejarah Dinasti Ming.
Bangsa Eropa yang mendatangi Aceh saat itu juga menyebut kehadiran bangsa China. “There are in Achem many Chineses that use trade…and can well inform your Lordship of that worthy kingdom of China… (I meet) a very sensible merchant of China that spake Spanish… Our Baase [nama yang diberikan awak kapal kepada kapten Belanda Van Houtman] disliking that I so much frequented the Chinaes company commended me aboard,” tulis Jhon Davis dalam Purchas, His Pilgrims.
Kesaksian Davis ini dapat diartikan, “Di Aceh pedagang China banyak sekali…; maka saya dapat mengabari Yang Mulia (Earl of Essex) tentang kerajaan China yang luhur itu…; mereka mempunyai kampung khusus seperti bangsa Portugis, Gujarat, Arab…” juru mudi Inggris itu bahkan menjalin persahabatan dengan seorang pedagang China, “yang pandai bicara bahasa Spanyol. Tapi Cornelis de Houtman jengkel melihat keduanya akrab dan Davis dilarang meninggalkan kapal.
Beberapa barang China yang diperdagangkan di Aceh pada masa itu diantaranya bakong China, kertas, dan porselen. Selain itu China juga membawa beras, teh dan kipas ke Aceh untuk diperdagangkan.
Hubungan dagang Aceh dengan China juga dinukilkan Guillaume Dampier. Menurut Dampier China memiliki perkampungan tersendiri di salah satu ujung kota dan dekat laut yang disebut dengan Kampung China.
Di sana, kata Dampier, mereka selalu tinggal dan menurunkan barang-barangnya untuk dijual. Bahkan ada beberapa pengrajin yang datang dari negerinya ke Aceh seperti tukang kayu, tukang mebel, dan tukang cat. Para pengrajin ini langsung membuat koper, peti uang, lemari dan segala macam karya kecil dari China yang kemudian dipamerkan di depan pintu rumah untuk dijual.
Selain China, Kerajaan Aceh juga didatangi pedagang dari tanah Jawa seperti diceritakan Van Neck, kapten yang memimpin perjalanan Belanda kedua ke Nusantara tahun 1598 hingga 1600. Van Neck menyebutkan dia memang tidak berlabuh di pantai Aceh namun dia berjumpa dengan seseorang dari Hamburg yang belum lama berselang mengunjungi tempat itu dan memujinya. Laksamana teman Van Neck ini menceritakan dan menggarisbawahi rasa segan orang Jawa terhadap Aceh.
“Di kota Aceh itu dilakukan perdagangan besar, harus dianggap benar karena hal itu telah dinyatakan oleh semua orang Jawa yang menyenangi dan mengunjungi pelabuhan itu seperti halnya kota dagang kita yang paling termasyhur. Selanjutnya satu-satunya nama yang dapat mereka berikan kepada Pulau Sumatra ialah negeri Aceh.”
Mengenai hubungan dagang antara orang Aceh dengan pedagang dari Pulau Jawa tersebut perlu diteliti lebih lanjut. Apalagi, referensinya sangat sedikit. Selain pernyataan Van Neck, hanya teks Hikayat Aceh yang menyebutkan nama Gampong Jawa ada di Aceh sebanyak dua kali.
Pedagang dari negara Asia lainnya yang kerap mengunjungi Aceh yaitu bangsa Siam. Mereka sering mendatangi Pasai sekitar tahun 1520. Kendati terjalin hubungan dagang dan tidak saling mengganggu antara kedua kerajaan akibat letaknya yang jauh, namun tidak jarang pula persaingan bisnis dan perebutan dominasi pelabuhan berlaku diantara keduanya.
Seperti yang diceritakan Denys Lombard mengutip keterangan Best yang berjumpa dengan seorang utusan dari Siam. Dia memakai nama rajanya mengundang Best dan bangsa Inggris ke Ayuthia. “How joyfull their King would be, if our shipping came to his courts,” kata Best.
Aceh dan Siam juga disebut-sebut memiliki hubungan diplomatik seperti ditulis Lombard.
Prasat Thong, raja Siam yang hendak membalaskan dendamnya kepada pemberontak Patani mencari ketegasan mengenai kenetralan Aceh. Namun hubungan diplomatik tersebut berlangsung singkat. Pada tahun 1688 ada orang-orang Islam Aceh yang datang ke Siam untuk menyebarkan agama Islam. Prihal ini ditulis oleh Wood dalam Sejarah Siam tahun 1926.
Catatan lain mengenai hubungan dagang Kerajaan Aceh dengan pedagang asing juga disebutkan oleh Lancaster yang singgah ke Aceh pada 5 Juni 1602. Dia menghitung sekitar 16 hingga 18 kapal yang berada di pelabuhan Aceh. “Some guzerats, some of Bengala, some of Calicut (called Malabares), some Pegues. Selain itu juga ada kapal-kapal dari Koromandel yang berlabuh di Aceh saat itu dan menandakan adanya hubungan dagang antara India dengan Aceh.
Berbagai barang dibawa oleh pedagang Pegu (India). Salah satu diantaranya tembikar. Begitu pula orang-orang Benggali yang membawa kapas, kain, candu, dan guci besar berisi mentega atau minyak. Mentega dan minyak ini terbuat dari susu kerbau dan menjadi tengik di negeri Aceh namun sangat digemari oleh rakyat ujung Sumatera tersebut.
Pedagang-pedagang dari negeri India tersebut juga mengekspor besi dan baja, kain putih atau berwarna dan beberapa intan, Sebagai gantinya ia mengimpor kemenyan, kamper dan Barus, lada dari Priaman atau dari Tiku, barang porselin atau barang lain dari China serta sutera yang belum diwarnai. Mereka turut membawa ikan asin dan terasi, bandela kapas atau kain tenun. Sama halnya dengan China, pedagang-pedagang Gujarat atau India ini merupakan pemilik toko terbesar di Kota Banda Aceh saat itu.
Bangsa asing lainnya yang mendatangi Aceh yaitu Turki yang mengikat hubungan dagang, diplomatik dan budaya. Turki bahkan menjadi sekutu besar Kerajaan Aceh untuk melawan Portugis dan Belanda.
Selain Turki juga ada bangsa Perenggi atau Eropa. Salah satunya yaitu pedagang-pedagang dari negeri Portugis ini berdatangan sejak Sultan ‘Ala ad-Din Riayat Syah berkuasa di Aceh. Namun, niat mereka berdagang di Aceh dicurigai oleh sultan sebagai langkah menancapkan monopoli dagang di Selat Malaka.
Sebagai bangsa Eropa yang pertama singgah di Aceh, kedatangan pedagang Portugis menjadi pelajaran bagi Sultan ‘Ala ad-Din untuk mencari tahu lebih banyak tentang sejarah bangsa Eropa yang kemudian hari semakin banyak berdatangan ke Selat Malaka.
Tidak hanya Portugis, pedagang-pedagang Prancis, Inggris, Belanda, Spanyol bahkan Amerika sejak saat itu kian sering singgah ke pelabuhan Aceh. Baik di pesisir utara, barat dan juga timur Aceh. Mereka memburu hasil bumi Aceh yang diekspor terutama rempah-rempah seperti cendana, sapang, damar, sari, kemenyan putih, kemenyan hitam, kapur (kamper), akar pucuk, minyak rasamala, kulit kayu masui, lada, cabai keriting (campli puta), bunga lawang (cengkeh), gading, lilin, tali temali dari sabut kelapa dan sutera. Selain itu, Kerajaan Aceh juga dikenal sebagai daerah yang mengekspor gajah dan kuda. Aceh juga menjadi negara pengekspor bubuk mesiu, bedil, pewarna, vermiliun, manjakani, kesumba, hartal, dan tawas.[]
BOY NA AP
No comments:
Post a Comment