Jejak Raja Aceh Terancam Punah
PEMERINTAH Aceh dan kabupaten/kota hampir selalu berkoar-koar bahwa Tanah Rencong ini punya sejarah hebat dengan tokoh-tokoh pelaku sejarah yang legendaris. Aceh tempo doeloe juga diklaim sebagai satu dari beberapa kerajaan Islam kuat di dunia. Sayangnya, di lapangan, nyaris tak ada upaya penyelamatan situs-situs budaya bernilai sejarah itu. Fenomena ini seakan menyiratkan bahwa tak ada bukti pengakuan dari generasi saat ini terhadap kegemilangan sejarah masa silam. Apakah pemerintah tidak tahu atau tidak mau tahu? Serambi mengulasnya dalam laporan eksklusif berikut ini.
KONTUR tanahnya berbukit bercampur bebatuan karst. Terletak di atas ketinggian 40 meter dari permukaan laut, area seluas hampir 200 hektare itu ditumbuhi pepohonan liar. Butuh tenaga ekstra untuk menjangkaunya. Di beberapa titik, untuk mencapai puncak harus menyusuri dinding tebing yang curam dan terjal.
Dari atas ketinggian bukit inilah mata bebas memandang hamparan biru Selat Malaka. Bila menghadap ke utara, kapal-kapal nelayan terlihat melintas dari kejauhan.
“Strategis dan taktis. Setiap musuh yang datang dapat terdeteksi sebelum mereka sampai ke darat,” kata Arkeolog dari Universitas Syiah Kuala, Dr Husaini Ibrahim MA kepada Serambi.
Pada pertengahan abad 13 Masehi, kawasan ini menjadi pusat kerajaan terbesar di Aceh. Berbagai catatan sejarah menyebutnya dengan nama Kerajaan Lamuri.
Di atas bukit tempat Husaini berdiri, juga terdapat satu makam. Makam ini amat misterius, berumur ratusan tahun. Namun kedua batu nisan makam sepanjang hampir tiga meter itu masih utuh. Husaini dan para arkeolog sulit menjelaskan siapa orang yang dikubur dalam makam itu.
“Yang jelas bukan orang biasa. Hal ini bisa dilihat dari posisi makam yang berada di atas puncak bukit yang menandakan strata sosial orang ini amatlah dihormati dan memiliki tempat tertinggi dalam kerajaan,” ungkapnya.
Awal Oktober lalu, Serambi bersama arkeolog dan tim riset dari tiga universitas; Unsyiah, Universitas Sumatera Utara (USU), dan Universitas Sain Malaysia--menelusuri area situs seluas hampir 200 hektare itu. Para sejarawan mencatat, Lamuri merupakan cikal-bakal (embrio) lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam yang merupakan salah satu dari kerajaan terbesar di dunia. Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Saat itu Aceh menjadi pusat perdagangan Asia Tenggara dan memiliki hubungan diplomatik dengan Dinasti Usmani di Turki, Inggris, dan Belanda.
Jauh sebelumnya, sekitar abad 13 Masehi, Kerajaan Lamuri sudah eksis menunjukkan perannya sebagai sebuah kerajaan besar. Husaini mengatakan, Lamuri pada masanya merupakan satu Kota Bandar (pelabuhan) yang maju. (Baca: Kota Bandar yang Hilang).
Dari catatan sejarah dan artefak yang ditemukan, berupa nisan dan keramik yang bertebaran di lokasi, makin menguatkan Lamuri sebagai pusat penyebaran agama Islam dan perdagangan segi tiga emas bersama dua kerajaan lainnya; Kerajaan Barus dan Samudra Pasai.
Terletak di Bukit Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar, 30 km dari Banda Aceh, nama Lamuri menjadi topik hangat media massa sejak setahun lalu. Pemkab Aceh Besar berencana menjual situs bersejarah ini kepada investor Cina untuk pembangunan lapangan golf. Namun aktivis LSM pemerhati sejarah menentangnya kala itu. Potret miris situs Lamuri di Bukit Lamreh, Aceh Besar, menjadi salah satu contoh kecil dari banyak situs sejarah dan jejak kesultanan Aceh yang dilupakan pemerintah. Keberadaannya kini diambang ancaman kepunahan.
Tak hanya Lamuri. Nasib serupa juga dialami situs sejarah di Gampong Pande, yang merupakan pusat berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam dan menjadi pintu pertama Islam masuk ke Aceh.
Penelusuran Serambi di situs Lamuri, Bukit Lamreh, Aceh Besar, menemukan berbagai peninggalan arkeologis bersejarah di kawasan itu tampak memprihatinkan.
Di antaranya, ada benteng Indrapatra, Benteng Inong Balee, dan Benteng Kuta Luboek. Khusus Benteng Kuta Luboek, yang berada dalam kompleks Kerajaan Lamuri, kondisinya memiriskan. Sebagian besar batu pondasi bekas dinding benteng ditemukan runtuh berserakan. Sampai kini, Benteng Kuta Luboek diketahui tidak termasuk dalam situs cagar budaya yang dilindungi.
“Benteng Kuta Luboek ini dibiarkan telantar. Tidak ada perhatian sama sekali dari pemerintah,” kata Husaini, prihatin. Selain bangunan benteng, di lokasi situs Lamuri dan Benteng Kuta Luboek juga ditemukan kompleks makam para raja dan pemuka agama (qhadi) serta jejak bekas hunian yang ditandai dengan adanya struktur bangunan dan sebaran pecahan keramik. (Baca: Makam Raja yang Terlupakan).
Nisan dan kompleks makam ini berada di atas ketinggian bukit antara Benteng Kuta Luboek dan Benteng Inong Balee. Namun ironis, banyak nisan berusia ratusan tahun ditemukan patah berserakan, tercerabut dari tanah ditutupi semak belukar.
Para peneliti menyebutkan, batu nisan yang ditemukan di bekas Kerajaan Lamuri berjenis plak pling, terbuat dari batuan pasir (sand stone) dan andesit (batu kali). Batu nisan ini berbentuk tegak persegi empat, makin ke atas bentuknya makin runcing. Pada beberapa sisinya, terdapat ukiran bermotif bunga kerawang dan kaligrafi. Nisan plak pling merupakan nisan peralihan dari zaman prasejarah ke Islam. Nisan ini digunakan pada makam penguasa atau ulama sekitar abad 12 Masehi.
“Batu nisan plak pling ini juga ditemukan di Gampong Pande. Ini menunjukkan hubungan kuat antara Lamuri dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Pada saat ibu kota kerajaan Lamuri dipindahkan dari Lamreh ke Gampong Pande setelah mendapat banyak serangan musuh. Saat itu Sultan Johansyah dilantik di Gampong Pande sebagai Sultan pada tahun 1205 Masehi,” ujar Husaini yang juga Kepala Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya (PPISB) Unsyiah.
Meskipun beragam artefak sejarah ditemukan, namun sayangnya situs Kerajaan Lamuri di Bukti Lamreh, Aceh Besar tidak termasuk dalam kawasan cagar budaya yang dilindungi. Husaini mengatakan, pemerintah bertanggung jawab atas kerusakan dan ancaman kepunahan situs Lamuri sebagai salah satu bukti jejak kesultanan Aceh yang masih tersisa untuk kepentingan ilmu pengetahuan generasi mendatang.
“Sekarang banyak situs yang rusak akibat tak terawat dan dimakan usia. Masyarakat yang tidak tahu juga mengambil batu nisan untuk dijadikan batu asah. Padahal batu nisan ini amat penting untuk penelitian dan ilmu pengetahuan,” ujar Husaini.
Menurut Husaini, Kerajaan Lamuri memiliki kandungan sejarah penting karena berada dalam tiga peradaban mulai prasejarah, Hindu/Budha dan masuknya pengaruh Islam. Berbagai peninggalan arkeologis dari tiga zaman ini diperkirakan masih terkubur dan tersimpan dalam area situs seluas 200 hektare itu.
“Jangan mengatakan Aceh punya sejarah besar tapi pemerintah tidak pernah peduli untuk menjaganya. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah?” ujar Husaini.(sar/sak)
KONTUR tanahnya berbukit bercampur bebatuan karst. Terletak di atas ketinggian 40 meter dari permukaan laut, area seluas hampir 200 hektare itu ditumbuhi pepohonan liar. Butuh tenaga ekstra untuk menjangkaunya. Di beberapa titik, untuk mencapai puncak harus menyusuri dinding tebing yang curam dan terjal.
Dari atas ketinggian bukit inilah mata bebas memandang hamparan biru Selat Malaka. Bila menghadap ke utara, kapal-kapal nelayan terlihat melintas dari kejauhan.
“Strategis dan taktis. Setiap musuh yang datang dapat terdeteksi sebelum mereka sampai ke darat,” kata Arkeolog dari Universitas Syiah Kuala, Dr Husaini Ibrahim MA kepada Serambi.
Pada pertengahan abad 13 Masehi, kawasan ini menjadi pusat kerajaan terbesar di Aceh. Berbagai catatan sejarah menyebutnya dengan nama Kerajaan Lamuri.
Di atas bukit tempat Husaini berdiri, juga terdapat satu makam. Makam ini amat misterius, berumur ratusan tahun. Namun kedua batu nisan makam sepanjang hampir tiga meter itu masih utuh. Husaini dan para arkeolog sulit menjelaskan siapa orang yang dikubur dalam makam itu.
“Yang jelas bukan orang biasa. Hal ini bisa dilihat dari posisi makam yang berada di atas puncak bukit yang menandakan strata sosial orang ini amatlah dihormati dan memiliki tempat tertinggi dalam kerajaan,” ungkapnya.
Awal Oktober lalu, Serambi bersama arkeolog dan tim riset dari tiga universitas; Unsyiah, Universitas Sumatera Utara (USU), dan Universitas Sain Malaysia--menelusuri area situs seluas hampir 200 hektare itu. Para sejarawan mencatat, Lamuri merupakan cikal-bakal (embrio) lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam yang merupakan salah satu dari kerajaan terbesar di dunia. Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Saat itu Aceh menjadi pusat perdagangan Asia Tenggara dan memiliki hubungan diplomatik dengan Dinasti Usmani di Turki, Inggris, dan Belanda.
Jauh sebelumnya, sekitar abad 13 Masehi, Kerajaan Lamuri sudah eksis menunjukkan perannya sebagai sebuah kerajaan besar. Husaini mengatakan, Lamuri pada masanya merupakan satu Kota Bandar (pelabuhan) yang maju. (Baca: Kota Bandar yang Hilang).
Dari catatan sejarah dan artefak yang ditemukan, berupa nisan dan keramik yang bertebaran di lokasi, makin menguatkan Lamuri sebagai pusat penyebaran agama Islam dan perdagangan segi tiga emas bersama dua kerajaan lainnya; Kerajaan Barus dan Samudra Pasai.
Terletak di Bukit Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar, 30 km dari Banda Aceh, nama Lamuri menjadi topik hangat media massa sejak setahun lalu. Pemkab Aceh Besar berencana menjual situs bersejarah ini kepada investor Cina untuk pembangunan lapangan golf. Namun aktivis LSM pemerhati sejarah menentangnya kala itu. Potret miris situs Lamuri di Bukit Lamreh, Aceh Besar, menjadi salah satu contoh kecil dari banyak situs sejarah dan jejak kesultanan Aceh yang dilupakan pemerintah. Keberadaannya kini diambang ancaman kepunahan.
Tak hanya Lamuri. Nasib serupa juga dialami situs sejarah di Gampong Pande, yang merupakan pusat berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam dan menjadi pintu pertama Islam masuk ke Aceh.
Penelusuran Serambi di situs Lamuri, Bukit Lamreh, Aceh Besar, menemukan berbagai peninggalan arkeologis bersejarah di kawasan itu tampak memprihatinkan.
Di antaranya, ada benteng Indrapatra, Benteng Inong Balee, dan Benteng Kuta Luboek. Khusus Benteng Kuta Luboek, yang berada dalam kompleks Kerajaan Lamuri, kondisinya memiriskan. Sebagian besar batu pondasi bekas dinding benteng ditemukan runtuh berserakan. Sampai kini, Benteng Kuta Luboek diketahui tidak termasuk dalam situs cagar budaya yang dilindungi.
“Benteng Kuta Luboek ini dibiarkan telantar. Tidak ada perhatian sama sekali dari pemerintah,” kata Husaini, prihatin. Selain bangunan benteng, di lokasi situs Lamuri dan Benteng Kuta Luboek juga ditemukan kompleks makam para raja dan pemuka agama (qhadi) serta jejak bekas hunian yang ditandai dengan adanya struktur bangunan dan sebaran pecahan keramik. (Baca: Makam Raja yang Terlupakan).
Nisan dan kompleks makam ini berada di atas ketinggian bukit antara Benteng Kuta Luboek dan Benteng Inong Balee. Namun ironis, banyak nisan berusia ratusan tahun ditemukan patah berserakan, tercerabut dari tanah ditutupi semak belukar.
Para peneliti menyebutkan, batu nisan yang ditemukan di bekas Kerajaan Lamuri berjenis plak pling, terbuat dari batuan pasir (sand stone) dan andesit (batu kali). Batu nisan ini berbentuk tegak persegi empat, makin ke atas bentuknya makin runcing. Pada beberapa sisinya, terdapat ukiran bermotif bunga kerawang dan kaligrafi. Nisan plak pling merupakan nisan peralihan dari zaman prasejarah ke Islam. Nisan ini digunakan pada makam penguasa atau ulama sekitar abad 12 Masehi.
“Batu nisan plak pling ini juga ditemukan di Gampong Pande. Ini menunjukkan hubungan kuat antara Lamuri dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Pada saat ibu kota kerajaan Lamuri dipindahkan dari Lamreh ke Gampong Pande setelah mendapat banyak serangan musuh. Saat itu Sultan Johansyah dilantik di Gampong Pande sebagai Sultan pada tahun 1205 Masehi,” ujar Husaini yang juga Kepala Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya (PPISB) Unsyiah.
Meskipun beragam artefak sejarah ditemukan, namun sayangnya situs Kerajaan Lamuri di Bukti Lamreh, Aceh Besar tidak termasuk dalam kawasan cagar budaya yang dilindungi. Husaini mengatakan, pemerintah bertanggung jawab atas kerusakan dan ancaman kepunahan situs Lamuri sebagai salah satu bukti jejak kesultanan Aceh yang masih tersisa untuk kepentingan ilmu pengetahuan generasi mendatang.
“Sekarang banyak situs yang rusak akibat tak terawat dan dimakan usia. Masyarakat yang tidak tahu juga mengambil batu nisan untuk dijadikan batu asah. Padahal batu nisan ini amat penting untuk penelitian dan ilmu pengetahuan,” ujar Husaini.
Menurut Husaini, Kerajaan Lamuri memiliki kandungan sejarah penting karena berada dalam tiga peradaban mulai prasejarah, Hindu/Budha dan masuknya pengaruh Islam. Berbagai peninggalan arkeologis dari tiga zaman ini diperkirakan masih terkubur dan tersimpan dalam area situs seluas 200 hektare itu.
“Jangan mengatakan Aceh punya sejarah besar tapi pemerintah tidak pernah peduli untuk menjaganya. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah?” ujar Husaini.(sar/sak)
No comments:
Post a Comment