'Operasi Perawat': Misi Rahasia Gerilyawan Republik Indonesia

Ibarat kisah penyamaran yang mendebarkan dalam novel detektif, para pejuang kita pun melakukan aksi serupa. Inilah kisah operasi non-militer yang barangkali terlupakan dalam sejarah.
pertempuran,surabaya,inggrisPos penjagaan tengah memeriksa kelengkapan surat sebuah truk militer yang akan memasuki kawasan pelabuhan di Surabaya. (Sergeant Desmond Davis, No 9 Army Film & Photographic Unit/Imperial War Museum/Wikimedia Commons)
Tatkala serdadu-serdadu Inggris menguasai jantung Kota Surabaya pada akhir 1945, para pejuang Radio Pemberontakan menyingkir dan bergerilya hingga di barisan pegunungan di latar Mojokerto.

Dalam gulita malam, mereka mengangkut peralatan pemancar radio dengan truk lalu berlanjut dengan berkuda dari bukit ke bukit. Tujuannya, menyiarkan berita ke seantero jagad, sekaligus membakar semangat para pejuang Republik.

Namun, akibat sering berpindah, salah satu bagian penting dari pemancar radio itu mengalami kerusakan. Rencana untuk mengambil suku cadang pemancar ke Radio Pemberontakan di Malang, kota terdekat, dibatalkan lantaran pemancarnya juga mengalami kerusakan.

Pilihan terakhir, mereka harus mengambil suku cadang pemancar itu di sebuah rumah kosong dekat pemancar lama di Surabaya—yang saat itu dikuasai tentara Inggris. Bagaimana mungkin?

Para pejuang menemukan cara untuk menyusup ke pertahanan musuh di Surabaya: Menyamar sebagai awak Palang Merah Internasional lengkap dengan mobil ambulans!

”Aku merinding mendengar rencana itu,” ungkap K’tut Tantri yang turut bergerilya bersama pejuang Republik. Nama sejati perempuan itu Muriel Stuart Walker, warga negara Amerika Serikat kelahiran Inggris. Dia berada di Indonesia selama lima belas tahun, 1932-1947. Awalnya dia tinggal di Bali, diangkat sebagai anak oleh Raja Bali yang memberinya nama khas Bali tersebut.

Tantri mengingatkan kepada para pejuang bahwa menggunakan identitas Palang Merah Internasional sangat berbahaya lantaran di Jawa Timur belum ada perwakilan organisasi tersebut. Namun seorang pemimpin gerilya menjawab dengan enteng, ”Prajurit Inggris tidak begitu cerdas. Pokoknya mereka melihat kata internasional, pasti langsung percaya.”

Tantri yang awalnya ragu pun menyetujui siasat para gerilyawan, asalkan operasi tersebut bukan operasi militer—tanpa senjata. Dalam skenario, perempuan itu berperan sebagai perawat zaman Perang Dunia II, berbusana serba putih dengan lengan berjahit ban Palang Merah internasional. Tak hanya itu, dia dilengkapi surat-surat dan paspor dengan foto aslinya, namun bernama samaran ”Molly McTavish”.

Mobil ambulans berlabel rekaan ”International Committee of the Red Cross” telah diperoleh dari sebuah rumah sakit swasta di Mojokerto. Pengemudinya seorang pemimpin gerilyawan yang berpakaian dinas. Sementara, di dalam ambulans terdapat dua gerilyawan: Seorang menyamar sebagai dokter berbusana serba putih dan lainnya berakting sebagai korban. Sang korban terbaring dengan balutan perban penuh rembesan darah—dari ayam yang disembelih. 

K’tut Tantri terkesima menyaksikan keberanian dan ketelitian para gerilyawan Republik dalam menyusun strategi, meskipun mereka adalah orang-orang yang kurang berpendidikan. ”Aku menilainya sebagai rencana gila-gilaan.”
pertempuran,surabaya,inggrisSeorang serdadu India berjaga di jalanan yang dikuasai pihak militer Inggris di Kota Surabaya. Demikianlah pemandangan kota usai pemboman besar-besaran oleh Inggris. ( Sergeant DavisDesmond, No 9 Army Film & Photographic Unit/Imperial War Museum/Wikimedia Commons)
Mendekati barikade Kota Surabaya, sirine ambulans diraungkan. Namun, satu serdadu Inggris dan dua serdadu Gurkha menahan perjalanan mereka. Sang serdadu terkejut menyaksikan ada perempuan kulit putih di dalamnya.

Dia pun berkenalan dengan ”Molly McTravish” dan mengajak berkencan. Namun,”Molly McTravish” menolaknya dengan alasan harus segera menyelamatkan korban di dalam ambulans. Lantaran iba dengan korban, serdadu itu melunaskan permintaan mereka untuk melaju ke dalam kota.

Mobil ambulans sampai ke alamat tujuan. Di Surabaya, mereka segera memasukkan suku cadang pemancar, sekarung makanan kaleng, dan sekotak besar rokok. Akhirnya, mereka kembali ke Mojokerto dengan selamat.
Kisah sejarah tersebut ditulis oleh K’tut Tantri dalam otobiografinya,  Revolt in Paradise, yang terbit pertama kali di New York pada 1960. Buku ini juga pernah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dengan judul Revolusi di Nusa Damai pada 1982 dan 2006.
Dalam buku itu dia berkisah tentang perjalanannya dari New York hingga ke Hindia Belanda, bermukim di Bali, jatuh cinta dengan ningrat setempat, hidup dalam tawanan Jepang, dan mendukung kemerdekaan Indonesia.

Tantri wafat di Australia pada 1997 dalam usia 99 tahun. Dia pernah menjalani hidup menderita sebagai tawanan perang Jepang. Bahkan, pernah dinyatakan tewas dalam kamp. Sayang, keterlibatan Tantri dalam gerilya dan perjuangan revolusi Republik Indonesia tampaknya kini nyaris dilupakan oleh bangsa Indonesia.
”Operasi Perawat berhasil kami selesaikan dengan hasil memuaskan,” ungkap Tantri. ”Pemancar radio diperbaiki. Suara Indonesia Merdeka bisa berkumandang kembali di udara.”
(Mahandis Y. Thamrin/NGI)

No comments: