Soal Ahmadiyah : Gubernur Aher Harus Belajar dari Khalifah Umar
Nanti, pada 13 Juni Gubernur Ahmad Heryawan
(Aher) dan pasangannya, Deddy Mizwar akan dilantik menjadi Gubernur Jawa
Barat periode 2013-2018. Di periode kepemimpinannya yang kedua, perlu
terus dikembangkan sikap kritis terhadap tokoh kontraversial ini. Salah
satu contoh sikap kontraversialnya adalah pernyataan Gubernur Aher seperti dikutip KOMPAS.COM (Selasa, 7 Mei 2013). Pernyataan Anda yang menyatakan “Ahmadiyah hilang, Masalah pun hilang” sungguh kurang bijak. Keberadaan Jemaat Ahmadiyah (disingkat JAI) di Nusantara, khususnya di Tatar Sunda jauh sebelum kemerdekaan di proklamasikan. Di era Bung Karno, meski beberapa anggota JAI gugur oleh gerombolan DI/TII karena setia kepada NKRI, namun secara umum mereka
dapat hidup aman dan tenteram. Bahkan di era ini, tepatnya pada 1953
JAI resmi mendapatkan Badan Hukum. Di era Pak Harto atau Orde Baru, mereka
juga dapat hidup aman dan tenteram, meski MUI mengeluarkan fatwa “sesat
dan menyesatkan” pada 1980. Di era reformasi, di masa Habibie, Gus Dur
dan Megawati mereka pun masih bisa menghirup
udara kebebasan dan menjalankan ibadah seperti umat Islam lainnya.
Bahkan, di era Presiden Gusdur, pemimpin tertinggi mereka, Hazrat
Mirza Thahir Ahmad dapat mengunjungi Indonesia. Penantian anggota JAI
selama 75 tahun terbayar sudah. Pada kesempatan itu, selain disambut di Bina Graha, pemimpin Jema’at Ahmadiyah dunia pun di sambut Amien Rais, selaku Ketua MPR di Gedung DPR/MPR Senayan Jakarta.
Dan kini di era SBY, khususnya di Jawa Barat di bawah kepemimpinan Aher, mereka termarjinalkan. Penyerangan, perusakan seakan sudah menjadi menu yang harus mereka hadapi setiap saat. Di Bogor, Bekasi, Cianjur, Sukabumi, Majalengka, Kuningan, Garut, Tasikmalaya berulangkali terjadi persekusi dan tindakan anarkis terhadap anggota JAI. Di Bandung, ibukota provinsi, ketika mereka
tengah memersiapkan perayaan Iedul Adha esok harinya (25 Oktober 2012
lalu), puluhan orang dari ormas radikal mendatangi dan merusak mesjid An-Nashr, mesjid yang sudah berdiri semenjak 1948. Ternyata, di Kota Kembang yang terkenal aman dan damai tidak lagi menjadi tempat yang ramah untuk anggota JAI. Tempat-tempat tersebut bukanlah berada di negeri “antah berantah.” yang absen hukum. Semua lokasi yang tadi disebutkan berada di bawah pimpinan dan kendali Anda sebagai Gubernur.
Sebagai Gubernur dari Partai Islam yang mengusung kata “Keadilan” di tengahnya, tentu Aher lebih memahami apa arti kata tersebut. Dan tentu Aher pun tidak asing tentang sebuah contoh keadilan yang pernah ditunjukkan Khalifah Umar bin Khattab
ra. Syahdan, di Negeri Mesir, rumah reot seorang Yahudi tua mesti
digusur demi pembangunan sebuah mesjid megah. Merasa tidak diberikan
keadilan oleh Gubernur di sana, Ia hendak mengadu kepada Khalifah Umar
bin Khatab r.a. di kota Medinah. Maka berjalan kaki lah sang Yahudi tua.
Sebuah jarak yang tidak dekat, bahkan untuk ukuran sekarang. Singkat
cerita sampailah Ia di Medinah. Kepada Pemimpin tertinggi Negara Islam
itu, Ia mengadukan bawahannya-Gubernur Mesir- yang bertindak
sewenang-wenang. Mentang-mentang ia seorang Yahudi, seorang minoritas
yang mungkin hanya dipandang sebelah mata. Setelah mendengar keluh
kesahnya, sang Khalifah menyuruh si Yahudi untuk memungut sepotong
tulang belikat Unta. Meski agak bingung, ia
menuruti perintahnya. Dibawalah sepotong tulang unta dan diserahkan
kepada Al-Faruk, julukan Khalifah Umar. Khalifah kemudian menghunus
pedangnya dan menggoreskan huruf alif yang lurus di atas permukaan tulang unta tersebut. Di tengah goresan itu ada lagi goresan melintang meemakai ujung pedangnya.
Setelah itu, sang Khalifah menyuruh si Yahudi pulang dan berpesan untuk
memberikan tulang Unta itu kepada Gubernurnya di Mesir. Kali ini, si
Yahudi benar-benar bingung. Jauh-jauh ia pergi dari Mesir bukannya
mendapatkan keadilan malah mendapatkan sepotong tulang Unta busuk.
Namun, meski menggerutu, ia membawanya pulang.
Setibanya di kampung halaman, ia
segera menghadap sang Gubernur. Diserahkannya tulang dari Khalifah Umar
ke hadapannya. Sejurus kemudian, wajah sang Gubernur pucat pasi.
Tubuhnya bergetar. Ia kemudian bertitah kepada patih dan prajuritnya
untuk segera meruntuhkan kembali pondasi mesjid yang sudah terlanjur
dibuat dan mendirikan kembali rumah si Yahudi tua. Perintah ini membuat
si Yahudi semakin bingung sampai ke ubun-ubun. Apa gerangan terjadi
sehingga Sang Gubernur begitu pucat pasi dan merubah kembali perintahnya
? Karena penasaran, Ia bertanya kepada Gubernur perihal yang terjadi.
Sambil menghela nafas, Sang Gubernur bertutur bahwa Khalifah Umar,
atasannya menegurnya dengan sangat keras. Maksud dari tulang tersebut
adalah, “apapun pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat kamu akan bernasib sama seperti sepotong tulang ini. Karena itu berbuat adil-lah seperti huruf alif ini.”Adil di atas dan adil di bawah. Sebab
kalau kamu tidak bertindak adil dan lurus seperti goresan tulang ini,
maka Khalifah tidak segan-segan untuk memenggal kepalaku.”
Baik sang Khalifah maupun bawahannya, Gubernur Mesir, telah memahami dengan sesungguhnya makna keadilan. Intinya
adalah, keadilan harus senantiasa ditegakkan. Dan penegakkan keadilan
tidaklah pandang bulu. Tidak memandang ia kaum lemah atau kaum kuat,
kaya atau miskin, mayoritas atau minoritas. Kualitas pemimpin seperti
itulah yang telah dicontohkan Islam. Pertanyaannya untuk Gubernur Aher, bisakah Anda meneladani Khalifah Umar bin Khattab r.a. atau paling tidak Gubernur Mesir yang sekali diingatkan dengan cepat mengoreksi tindakannya yang salah ? Jangan sampai pejabat seperti Anda abai terhadap semua persekusi, tindakan anarkis, atau malah mendukung penyegelan terhadap mesjid mesjid JAI. Padahal, Al-Qur’an sendiri dengan tegas memeringatkan:“Dan
siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi
menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha merobohkannya
?” (2:114).
Mengenai persoalan aqidah, dalam hal ini JAI sudah
berulangkali menegaskan dengan gamblang. Pendiri Jema’at Ahmadiyah,
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, menulis: “Tidak ada kitab kami selain
Qur’an Syarif. Dan tidak ada Rasul kami kecuali Muhammad Musthafa SAW.
Dan tidak ada agama kami kecuali Islam. Dan kita mengimani bahwa Nabi
kita (Nabi Muhammad Saw) adalah Khaatamul Anbiya, dan Qur’an Syarif
adalah Khaatamul Kutub” (Maktubaat-e-Ahmadiyah, jld.5,no.4).
Kembalikanlah hak-hak mereka
sebagai warga negara. Kembalikanlah keamanan dan ketentraman yang sudah
menjadi kewajiban negara untuk memberikannya. Biarkanlah mereka beribadah di mesjid-mesjid mereka. Biarlah, urusan siapa yang sesat dan siapa yang mendapat petunjuk menjadi hak-Nya (an-Nahl, 16:25). Karena sejatinya hal ini bukan menjadi wewenang Anda, bahkan utusan-Nya pun tidak diberikan izin untuk menelisik hati seseorang. Serahkan saja semuanya kepada Tuhan.
Ahmad R
No comments:
Post a Comment