Jakarta, 1 April 2013
-Dami N Toda.
-Sejarah Flores (Satoshi)
-H. Achmad/Held [1995:148, 152-3]
Foto:
Pembukaan isolasi fisik jalan lintas Flores tahun 1915-1925 oleh Hindia Belanda. Foto ini tepat di Kilometer 17 dari Ende menuju Maumere. Sumber Trophen Museum.
SEJARAH KERAJAAN ENDEH;
Hingga kini, tidak banyak yang mengetahui asal mula berdirinya kota Ende secara jelas, namun bagian-bagian pencerahan bertumpu pada serpihan-serpihan sejarah yang tercecer kini perlahan mulai terkuak, sehingga munculnya artikel ini menjadi ‘turning point’ untuk dijadikan pedoman penggalian fondasi sejarah yang utuh. Meski hanya serpihan, namun artikel yang di himpun dari beberapa sumber ini dapat memberi gambaran jelas kemisterian peristiwa masa lampau. Karena itu, pada bagian mukadimah penulis ingin menyampaikan agar setiap pembaca dapat memberikan kontribusi menyempurnakan isi jika dalam artikel ini terdapat kekurangan.
Penulis memahami, bahwa munculnya artikel ini dapat saja menuai perbedaan tajam antara sumber lisan maupun literatur yang dimiliki penulis. Namun demikian, penulis merasa tertantang untuk menerobos kewenangan sejarah masa lampau yang penuh misteri demi tersemburnya sebuah fakta otentik. Karena ini, penulis mengajak semua para pembaca untuk sama-sama melengkapi tulisan ini. Dari sumber yang tercantum diatas, penulis menemukan beberapa fakta sejarah kota Ende yang konon merupakan sebuah perkampungan kecil (Nua Endeh) dan kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan bernama kerajaan Endeh.
Dahulu, Ende merupakan tempat persinggahan dan bandar pelabuhan perdagangan antar masyarakat nusantara maupun masyarakat luar. Letaknya yang strategis, berada di tengah-tengah pulau Flores membuat Ende sangat diminati oleh saudagar-saudagar sehingga kaum gujarat, unsur Cina, kaum muslim, kerajaan Majapahit, kesultanan Gowa, kesultanan Bima, Portugis dan Belanda pun kepincut ingin menguasai Ende lewat perdagangan, penyebaran agama maupun agresi-agresi militer.
Satoshi dalam naskah sejarah Flores mengemukakan bahwa; “Pendiri kerajaan Endeh adalah seorang pria dari Jawa. Beliau menikahi puteri tuan tanah di Endeh dari kampung Numba dan dari kampung Nggela. Sebab itu ia diberi kekuasaan dan hak-hak atas tanah Ende oleh ayahnya mertuanya. Kemudian ia mendirikan dinasti Endeh (Kerajaan Endeh). Ia adalah raja pertama bernama Djari Jawa sekitar abad 15. Nama asli Djari Djawa adalah Raden Husen, seperti nama Islam Jawa”. Pada orde ini, kerajaan Ende berdiri secara tradisional tanpa sentuhan pengaruh Portugis maupun Belanda. Namun kerajaan ini tidak berkembang karena sistem kerajaan yang pada waktu itu tidak dimanaging dengan baik, sehingga terjadi stagnasi dalam waktu yang cukup lama.
Kerajaan Endeh akhirnya dihidupkan kembali pada masa pemerintahan raja Indra Dewa sekitar tahun 1800 atas dukungan raja Gowa (Sulawesi). Pada periode ini, sultan Bima yang juga merupakan keturunan raja Gowa turut berperan membina hubungan kekerabatan dengan raja Indra Dewa. Jauh sebelum masa pemerintahan raja Indra Dewa, bangsa Portugis telah melakukan perniagaan di wilayah Endeh karena Ende merupakan penghasil kayu manis terbesar di dunia. Sehingga untuk mempertahankan mengaruhnya, Portugis mendirikan benteng Rendo Rate Rua di pulau Ende pada tahun 1659-1661. Benteng itu akhirnya dibakar oleh para bajak laut. Hal lain yang menyebabkan terbakarnya benteng Rendo Rate Rua ialah; terjadinya perebutan gadis Rendo dikalangan bajak laut dengan misonaris Portugis. Hubungan kekerabatan antara kesultanan Bima dengan kerajaan Ende berlanjut meski kerajaan Gowa telah runtuh oleh agresi militer Belanda di Sulawesi.
Di era kolonial Hindia Belanda, terungkap sebuah peristiwa dimana hubungan yang tidak begitu sederhana antara kerajaan Ende dan Pemerintah Belanda. Hubungan itu telah terbina pada kisaran tahun 1890, tahun yang menurut salah satu petugas (de Vries), demarcates periode sebelum 1907.
Pada bulan Juni 1890, Kupang-menjadi tempat penahanan Bara Nuri seorang mosalaki dan pejuang daerah Ende dari kampung Wolo Are. Baranuri kemudian berhasil melarikan diri dan kembali ke Ende. Pemerintah Kolonial Belanda meminta Aroeboesman raja Ende waktu itu untuk membantu pemerintah menangkap Bara Nuri, namun upaya itu selalu gagal. Setelah kegagalan berulang-ulang, terutama karena keengganan pemerintah Belanda untuk membantu bekerja sama dengan raja, namun raja akhirnya berhasil menangkap Bara Nuri.
Setelah kembali ke Ende, Bara Nuri meminta bantuan Marilonga salah satu
pejuang sekaligus mosalaki di tanah Lio. Mereka mensiasati dan
membangun sebuah benteng pertahanan di desa Manu Nggoo sehingga raja
Ende menyerang desa itu. Kedua pahlawan Ende ini menguasai
masing-masing medan tempur. Bara Nuri di wilayah Ende dan Marilonga di
wilayah Lio. Kedua figur ini saling menopang dalam menghadapi agresi
Belanda.
Pada 8 Januari 1891, kapal perang Jawa muncul di teluk Ipi Ende. Dengan
bantuan ini dan sekitar 1.000 orang berkumpul oleh upaya raja,
menyerang benteng Bara Nuri pada tanggal 10 Januari, dan gagal lagi.
Pada bulan Februari, bala bantuan datang dari Kupang atas komando
cruiser van Speijck.
Pada tahun 1896, raja Pua Meno secara resmi ditunjuk sebagai raja Ende
oleh Pemerintah Belanda. Upaya untuk menangkap Bara Nuri pun
dilanjutkan raja Pua Meno yang diangkat Belanda.
Melihat bahwa Bara Nuri tidak akan menyerah meskipun dihujani serangan
bertubi-tubi oleh kekuatan Belanda, lalu Belanda pun mengirimkan
posthouder (Rozet) untuk melakukan perundingan gencatan senjata.
Setelah menyimpulkan perdamaian, Bara Nuri akhirnya memutuskan untuk
keluar hanya untuk ditangkap oleh posthouder. Ini suatu perbuatan
pengkhianatan yang dilakukan oleh posthouder pada waktu itu.
Menurut ‘de Vries’ pada waktu itu, tahun 1910 posthouder menggunakan
strategi (trap) jebakan bahwa Bara Nuri akan diangkat jadi raja Endeh
sehingga ia harus datang ke Endeh agar dapat dipilih sebagai Raja
(vries-10: 28).
Dalam waktu yang hampir bersamaan sekitar tahun 1904, perang pecah di
beberapa wilayah diantaranya Nanga Baa, Watu Sipi dan beberapa wilayah
Lio lainnya. Sehingga Pemerintah Belanda cepat mengirim sebuah kapal,
HM Mataram, untuk membantu raja.
Dalam rangkuman de Vries, situasi politik onderafdeeling Endeh sebelum
tahun 1907; Pengaruh pemerintahan Hindia Belanda tidak lebih jauh,
melainkan hanya sekitar wilayah kota Ende sebab mereka selalu dihadang
oleh Marilonga di wilayah Lio.
KLAIM KESULTANAN BIMA ATAS ENDE;
Dalam kurun waktu tahun 1800 hingga 1900-an, hubungan kerajaan Bima dan
kerajaan Ende sangat erat. Hal ini dapat terlihat dari bukti naskah
otentik berupa surat menyurat antara raja Bima, Sultan Ismail dan raja
Ende, Indra Dewa. Isi surat tersebut mengisyaratkan bahwa kedua kerajaan
ini harus saling menopang antara satu dengan yang lain. Hubungan kedua
kerajaan ini telah terbina sejak klaim hikayat kekuasaan Bima masa
Tureli Nggampo, sang Makapiri Solo.
Sebagaimana yang belum banyak diketahui, bahwa berdirinya kerajaan Ende
tidak terlepas dari pengaruh Bima sehingga menurut naskah H.
Achmad/Held [1995:148, 152-3], proses pengangkatan raja Ende harus
berdasarkan mufakat kerajaan Bima. Hal ini menunjukan karakter yang
khas klaim legendaris Bima versi “Dewa Sang Bima” dan “Makapiri Solo”.
Isi dari surat raja Bima [Sultan Ismail] di tulis pada 22 Jumadialkhir
1267 H ( 24 April 1851). Bunyi surat itu sebagai berikut:
:___”Bahwa Paduka Duli Yang Dipertuan Kita Seri Sultan Bima menaruh
tanda serta cap didalam ini kertas sebab ada AtanggaE anak Raja Endeh
yang bernama AtanggaE Itung, AtanggaE Nuh dan AtanggaE La Bukana, dan
AtanggaE Dua dan Jenangoco Sumba bernama Adam yang dititahkan oleh
segala kepala-kepala Endeh yang datang meminta perintah, serta idzin
kepada Duli Yang Dipertuan Kita kedua dengan tanah Bima, serta
dipintanya seorang Kepala Menteri di Bima akan menggelarkan atau
mendirikan Rajanya, yang sebagaimana telah dibiasakan oleh raja-raja
yang dahulu-dahulu, karena segala Kepala-Kepala sampai segala rakyat
Endeh telah sudah bersatuan mufakat dan kesukaan AtanggaE Indra Dewa
itulah menjadi Raja yang memerintahkan kepada antero tanah Endeh dan
AtanggaE KarsiA itu menjadi Kepala Bicara yang memegang istiadat tanah
Endeh.
Maka adalah Duli Yang Dipertuan Kita kedua dengan tanah Bima
terlalu suka hati, sebab Kepala-Kepala Endeh masih juga ingat pekerjaan
yang dahulu-dahulu, yang sebagaimana pekerjaan raja-raja yang dahulu
mahrum serta dikuatinya dan diteguhinya kehendak orang banyak itu,
karena tanah Endeh di bawah perintah tanah Bima memang dari dahulu kala
sampai sekarang ini.
Dari pada itulah Paduka Tuan Kita kedua dengan tanah Bima
memberitahukan tuan Petor Bima bernama Tuan Schietno, maka Paduka Tuan
Petor menerima dengan kesukaan hati akan meneguhinya serta menguatinya
yang sebagaimana yang telah dimufakatkan oleh tanah Bima dengan tanah
Endeh yang seperti pekerjaan raja-raja yang dahulu-dahulu sampai
sekarang, Tuan Petor Bima menaruh tanda tangan serta cap di dalam
kertas. Tertulis pada malam Kamis dua likur hari bulan Jumadilakhir
126.”_____:
Surat Balasan Dari Raja Indra Dewa,
Dua tahun kemudian, tepatnya 2 Syawal 1269 H (3 Agustus 1853), muncul
surat balasan dari raja Indra Dewa untuk raja Bima. Bunyi surat itu
sebagai berikut:
:___” Waba’du kemudian dari pada itu adalah Paduka Adinda dan
sekalian raja-raja bermahlum perihal Adinda mempersembahkan warakat
secarik kecil dengan tiada sepertinya akan menjadi Rabitulmuhib yang
tiada mangkata’ lagi adanya Adinda dengan Seri Paduka serta membikin
surat kiriman yang dibawah oleh AtanggaE Itung itu telah sampailah
dengan sejahtera kepada tuju belas hari bulan Julkaidah, maka Adinda
baca daripada awal setera hingga akhirnya.
Maka telah mahfumlah apa yang disebut didalamnya itu, dan jikalau
ada kiranya hendak menanyakan hal ihkwal tanah Endeh, Alhamdulillah di
dalam hairunnasirin, maka adalah sekalian raja-raja mengkhabarkan Seri
Paduka akan Raja sudah mufakat mengangkat Raja Indra Dewa, maka itulah
Raja mengkhabarkan Seri Paduka karena tanah Bima dengan tanah Endeh
tiada boleh bercerai dari dahulu sampai sekarang demikianlah adanya.
Tertulis di dalam negeri Endeh, dua puluh tujuh hari bulan Syawal pada
hari Rebu seribu dua ratus enam puluh sembilan”____:
Dari bunyi naskah surat Sultan Bima diatas, dapat ditafsirkan bahwa
hubungan kekerabatan antara kedua kerajaan ini telah lama sekali
berlangsung dan menunjukan penemuan bukti legitimasi kerajaan Bima atas
Endeh seperti yang tertuang dalam kutipan; “Meminta perintah serta
Idzin”. Hal ini dapat diartikan klaim souverenitas hegemoni Bima yang
“Makapiri Solo” bahwa kepala-kepala Endeh masih ingat pekerjaan yang
dahulu-dahulu yang sebagaimana pekerjaan raja-raja dahulu marhum,
karena tanah Endeh dibawah perintah tanah Bima dari dahulu sampai
sekarang ini.
Seperti diketahui bahwa klaim “Makapiri Solo” sudah terjadi sejak masa
Tireli Nggampo pada tahun 1660 di negeri Bima. Itu berarti klaim dan
hubungan kerajaan Bima dengan kerajaan Endeh telah terbangun pada tahun
1660. Kendati demikian, penulis menangkap bahwa ada frase sejarah yang
hilang ditengah hiruk pikuknya perkembangan Ende masa kini. Penulis
mensinyalir klaim ini bukan saja melekat di pojok-pojok mimpi namun juga
terdapat langgam “politik luar negeri” Kesultanan Bima agar mendapat
simpati Belanda. Hanya saja, kurangnya literatur sejarah Endeh membuat
klaim tersebut seolah memperteguh bahwa Endeh pada masa yang lampau
adalah benar berada dibawah kekuasaan Kerajaan Bima.
Terimakasih, semoga bermanfaat! (Y)
Marlin Boto
No comments:
Post a Comment