MAKALAH TERBUKA KEMAJUAN RISET DI GUNUNG PADANG LAPORAN SINGKAT TIM PENELITI MANDIRI TERPADU
SITUS GUNUNG PADANG BUKTI MAHAKARYA ARSITEKTUR PURBA DARI PERADABAN HILANG PRA-10.000 TAHUN LALU
Disusun oleh:
Danny H. Natawidjaja (Koordinator) dan Tim Peneliti Mandiri Terpadu G.Padang
Ahli geologi tim dan juga pembina pusat Ikatan Ahli Geologi Indonesia pusat, DR. Andang Bachtiar, berdasarkan hasil analisis kimia yang dilakukannya terhadap sampel semen purba dari undak terjal teras satu ke dua, menemukan fakta yang lebih mengejutkan lagi. Ternyata material semen ini mempunyai komposisi utama 45% mineral besi dan 41% mineral silika. Sisanya adalah 14% mineral lempung dan juga terdapat unsur karbon. Ini adalah komposisi yang bagus untuk semen perekat yang sangat kuat, barangkali menggabungkan antara konsep membuat resin atau perekat modern dari bahan baku utama silika dan penggunaan konsentrasi unsur besi yang menjadi penguat bata merah.
Tingginya kandungan silika mengindikasikan bahwa semen ini bukan hasil pelapukan dari batuan kolom andesit disekelilingnya yang miskin silika. Kemudian, kadar besi di alam, bahkan di batuan yang ada di pertambangan mineral bijih sekalipun umumnya tidak lebih dari 5% kandungan besinya, sehingga kadar besi “semen Gunung Padang” ini berlipat kali lebih tinggi dari kondisi alamiah. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa material yang ada diantara batu-batu kolom andesit ini adalah adonan semen buatan manusia. Jadi teknologi masa itu kelihatannya sudah mengenal metalurgi. Satu teknik yang umum untuk mendapatkan konsentrasi tinggi besi adalah dengan melakukan proses pembakaran dari hancuran bebatuan dengan suhu sangat tinggi. Mirip dengan pembuatan bata merah, yaitu membakar lempung kaolinit dan illit untuk menghasilkan konsentrasi besi tinggi pada bata tersebut, jelas Andang. Indikasi adanya teknologi metalurgi purba ini lebih diperkuat lagi dengan temuan segumpal material seperti logam sebesar 10 sentimeter oleh tim Ali Akbar pada kedalaman 1 meter di lereng timur Gunung Padang. Material logam berkarat ini mempunya permukaan kasar berongga-rongga kecil dipermukaannya. Diduga material ini adalah adonan logam sisa pembakaran (“slug”) yang masih bercampur dengan material karbon yang menjadi bahan pembakarnya, bisa dari kayu, batu bara atau lainnya. Rongga-rongga tersebut kemungkinan terjadi akibat pelepasan gas CO2 ketika pembakaran.
Tim akan melakukan analisa lab lebih lanjut untuk meneliti hal ini lebih jauh.
Yang tidak kalah mencengangkan adalah perkiraan umur dari semen purba ini. Hasil analisis radiometrik dari kandungan unsur karbonnya pada beberapa sampel semen di bor inti dari kedalaman 5 – 15 meter yang dilakukan pada tahun 2012 di Laboratorium bergengsi BETALAB, Miami, USA pada pertengahan tahun 2012 menunjukan umur dengan kisaran antara 13.000 sampai 23.000 tahun lalu. Kemudian, hasil carbon dating dari lapisan tanah yang menutupi susunan batu kolom andesit di kedalaman 3-4 meter di Teras 5 menunjukan umur sekitar 8700 tahun lalu. Sebelumnya hasil carbon dating yang dilakukan di laboratorium BATAN dari pasir dominan kuarsa yang mengisi rongga diantara kolom-kolom andesit di kedalaman 8-10 meter di bawah Teras lima juga menunjukkan kisaran umur yang sama yaitu sekitar 13.000 tahun lalu. Fakta yang sangat kontroversial karena pengetahuan mainstream sekarang belum mengenal/mengakui ada peradaban (tinggi) pada masa se-purba ini, dimanapun di dunia, apalagi di nusantara yang konon masa pra-sejarahnya banyak diyakini masih primitif walaupun alamnya luarbiasa indah dan kaya; sementara di wilayah tandus gurun pasir Mesir orang bisa membuat bangunan piramida yang sangat luarbiasa itu. Tapi fakta di Gunung Padang berbicara lain. Rasanya bukan mustahil lagi bangsa Nusantara mempunyai peradaban yang semaju peradaban Mesir purba , bahkan pada masa yang jauh lebih tua lagi.
Struktur bangunan dari susunan batu-batu kolom berdiameter sampai 50 cm dengan panjang bisa lebih dari 1 meter ini sudah sangat spektakuler karena bagaimanakah masyarakat purbakala dapat menyusun batu-batu besar yang sangat berat ini demikian rapih dan disemen pula oleh adonan material yang istimewa. Selanjutnya survey geolistrik yang dilakukan di sekitar lokasi pengalian oleh tim geologi/geofisika dari LabEarth LIPI, menguak fakta yang tidak kalah fantastis dari fitur bangunan purba di bawah permukaan ini. Survey terbaru ini adalah survey pendetilan sebagai lanjutan dari puluhan lintasan survey geolistrik 2-D, 3-D dan survey georadar yang sudah dilakukan pada tahun 2011, 2012 dan awal 2013 di sekujur badan Gunung Padang dari kaki sampai puncak bukit. Hasil survey geolistrik memperlihatkan bahwa lapisan susunan batu kolom yang terlihat di kotak gali keberadaannya dapat diikuti terus sampai ke atas bersatu di bawah badan situs Gunung Padang di atas bukit, dan juga melebar sampai jauh ke kaki bukit (Gambar 5).
Fakta ini mendukung hasil penelitian ahli arsitektur Pon Purajatniko, anggauta tim terpadu yang juga pernah menjabat Ketua Ikatan Ahli Arsitektur Jawa Barat, yang pertama kali melontarkan gagasan tentang struktur teras-teras Gunung Padang mirip situs Michu Pichu di Peru.
Sampai saat ini penggalian dilakukan baru sampai kedalaman 4 meteran saja, namun survey geolistrik memperlihatkan bahwa dibawahnya masih ada kenampakan struktur bangunan dengan geometri yang terlihat menakjubkan sampai kedalaman lebih dari 10 meter. Hasil survey geolistrik, dan georadar juga sudah dapat memperlihatkan bahwa struktur (geologi) bawah permukaan yang membentuk morfologi bukit Gunung Padang adalah lapisan batuan dengan ketebalan 30-50 meter yang mempunyai nilai tahanan listrik (resistivitas) sangat tinggi (ribuan Ohm-Meter) berbentuk seperti lidah dengan posisi hampir horisontal, selaras dengan bukit memanjang utara-selatan dan miring landai ke arah utara. Jadi selaras juga dengan undak-undak teras yang dibangun di atasnya. Lapisan batu berbentuk seperli lidah ini juga mempunyai bidang miring yang rata ke arah barat dan timur bukit selaras dengan kemiringan lerengnya. Lapisan lava ini berada pada kedalaman lebih dari 10 meter di bawah permukaan.
Dari data pemboran yang dilakukan oleh DR. Andang Bachtiar dan juga analisis mikroskopik batuan dari sampel inti bor yang dilakukan oleh DR. Andri Subandrio, ahli geologi batuan gunung api dari Lab. Petrologi ITB dapat dipastikan bahwa tubuh batuan dengan resistivitas tinggi ini adalah batuan lava andesit, sama seperti tipe batu kolom dari situs Gunung Padang. Hal lain yang cukup menarik dari analisa petrologi adalah temuan banyaknya retakan-retakan mikroskopik pada sayatan tipis batu kolom andesit yang diduga non-alamiah karena retakan itu memotong kristal-kristal mineral penyusunnya.
Dari banyak penampang geolistrik, terlihat Lidah lava andesit ini mempunyai leher intrusi (sumber terobosan batuan vulkanis dari bawah) berlokasi di area lereng selatan dari situs Gunung Padang, jadi setelah cairan panas intrusi magma mencapai permukaan kemudian mengalir ke utara dan setelah mendingin membentuk lidah lava tersebut. Yang masih menjadi teka-teki besar adalah apakah tubuh batuan lava diperut Gunung Padang ini merupakan sumber dari batu-batu kolom andesit yang dipakai untuk menyusun situs? Boleh jadi benar, karena sampai saat ini tidak ditemukan ada sumber batuan kolom andesit dalam radius beberapa kilometer dari Gunung Padang.
Masalahnya tidak ada bekas-bekas penambangan atau lapisan lava yang tersingkap di area Gunung Padang. Jadi, apabila orang berhipotesa bahwa sumber batuannya dari dalam bukit, maka mau tidak mau harus juga mengasumsikan bahwa dulunya lapisan lava tersebut pernah tersingkap atau ditambang oleh manusia purba, kemudian baru batu-batu kolom yang sudah diambil tersebut disusun-ulang kembali untuk menutupi sekujur badan lava menjadi satu mahakarya monumen arsitektur besar yang luarbiasa. Perlu juga dicatat bahwa mengekstraksi batu-batu kolom andesit dari batuan induknya bukanlah hal yang mudah karena harus dapat memisahkan batu-batu besar dan berat tersebut dengan utuh dari batuan induknya dalam jumlah yang sangat besar. Berbeda dengan penambangan batuan biasa yang tidak perlu kuatir dengan batu yang pecah, misalnya dengan peledakan dinamit. Yang jelas untuk abad sekarang atau ratusan tahun kebelakang didunia ini tidak pernah ada penambangan batu-batu kolom andesit untuk dipakai sebagai bata bangunan.
Penelitian di Gunung Padang belum selesai. Tim Mandiri Terpadu , walaupun tanpa dibantu dana negara, akan terus bekerja keras meneliti banyak misteri besar yang masih belum terkuak. Termasuk melakukan pemboran atau eskavasi dalam untuk membuktikan dengan lebih gamblang keberadaan struktur bangunan dan ruang-ruang di bawah kedalaman 4-5 meter. Demikian juga pentarikhan umur situs walaupun sudah dilakukan dengan teliti dan hati-hati masih perlu dicek ulang dengan sampel-sampel yang lebih baik lagi, karena umur ini hal yang sangat vital untuk kesimpulan akhirnya nanti. Tim juga menduga bahwa situs Gunung Padang kemungkinan besar tidak dibangun dalam satu masa, tapi produk lebih dari satu lapis kebudaayaan. Misalnya, yang membuat batu-batu kolom menjadi menhir-menhir belum tentu sama dengan masyarakat yang membuat susunan batu-batu kolom dengan semen purba. Demikian juga bangunan susunan batu kolom andesit di permukaan atau yang sudah tertimbun beberapa meter di bawah belum tentu dibangun satu masa dengan struktur bangunan di bawahnya lagi.
Penelitian ala Tim Mandiri Terpadu memperlihatkan bahwa bahu membahu yang erat dari berbagai disiplin ilmu dengan metoda penelitian yang saling mengisi sangat diperlukan untuk menguak warisan kebudayaan nusantara. Masalah Gunung Padang tidak bisa lagi disampingkan. Walaupun masih banyak pertanyaan yang belum terjawab dan analisa yang belum tuntas, hasil-hasil penelitian yang sudah dicapai sudah memberikan banyak informasi penting dan harapan bahwa situs Gunung Padang berpotensi untuk setara dengan Borobudur, bahkan lebih bermakna karena dapat menjadi terobosan pengetahuan tentang “the craddle of civilizations” pada abad ini karena menjadi bukti monumen besar dari peradaban adijaya tertua di dunia yang entah karena bencana apa musnah ribuan tahun lalu dalam masa pra-sejarah Indonesia. Wallahua alam.
Disusun oleh:
Danny H. Natawidjaja (Koordinator) dan Tim Peneliti Mandiri Terpadu G.Padang
Dalam bulan Maret tahun ini Tim Peneliti Mandiri Terpadu kembali menggelar survey di Gunung Padang. Kali ini Tim melakukan melakukan penggalian arkeologi dan survey geolistrik sangat detil DI sekitar penggalian pada lereng timur bukit di luar pagar situs cagar budaya.
Tim arkeologi yang dipimpin oleh DR. Ali Akbar dari Universitas Indonesia dalam penggaliannya menemukan bukti yang mengkonfirmasi hipotesa tim bahwa di bawah tanah Gunung Padang terdapat struktur bangunan buatan manusia yang terdiri dari susunan batu kolom andesit, sama seperti struktur teras batu yang sudah tersingkap dan dijadikan situs budaya di atas bukit. Terlihat di kotak gali bahwa permukaan fitur susunan batu kolom andesit ini sekarang sudah tertimbun oleh lapisan tanah setebal setengah sampai dua meter yang bercampur dengan bongkahan pecahan batu kolom andesit (Gambar 1).
Batu-batu kolom andesit disusun dengan posisi mendekati horisontal dengan arah memanjang hampir barat-timur (sekitar 70 derajat dari utara ke timur – N 70 E), sama dengan arah susunan batu kolom di dinding timur-barat teras satu dan undak lereng terjal yang menghubungkan teras satu dengan teras dua. Dari posisi horisontal batu-batu kolom andesit dan arah lapisannya, dapat disimpulkan dengan pasti bahwa batu-batu kolom atau “columnar joints” ini bukan dalam kondisi alamiah. Batu-batu kolom yang merupakan hasil pendinginan dan pelapukan batuan lava/intrusi vulkanis di alam arah memanjang kolomnya akan tegak lurus terhadap arah lapisan atau aliran seperti banyak ditemukan dibanyak tempat di dunia. Kenampakan susunan batu-kolom yang terkuak di kotak gali memang terlihat luarbiasa rapih seperti layaknya kondisi alami saja (contoh di Gambar 3). Sehingga tidak heran apabila di penghujung tahun 2012 ada tim arkeolog lain yang bekerja terpisah dan sudah ikut menggali di sini menyimpulkan bahwa batu-batu kolom andesit di bawah tanah ini merupakan sumber batuan alamiahnya; mungkin karena mereka belum mempertimbangkan aspek geologinya dengan lengkap dan juga tidak mengetahui data struktur bawah permukaan seperti diperlihatkan oleh hasil survey geolistrik.
Yang lebih mengejutkan adalah ditemukannya material pengisi diantara batu-batu kolom ini. Bahkan diantaranya ada batu kolom yang sudah pecah berkeping-keping namun ditata dan disatukan lagi oleh material pengisi atau kita katakan saja sebagai semen purba (Gambar 2). Makin ke bawah kotak gali, semen purba ini terlihat makin banyak dan merata setebal 2 sentimeteran diantara batu-batu kolom. Selain di kotak gali, semen purba ini juga sudah ditemukan pada tebing undak antara teras satu dan dua dan juga pada sampel inti bor dari kedalaman 1 sampai 15 meter dari pemboran yang dilakukan oleh tim pada tahun 2012 lalu di atas situs (Gambar 4). Ahli geologi tim dan juga pembina pusat Ikatan Ahli Geologi Indonesia pusat, DR. Andang Bachtiar, berdasarkan hasil analisis kimia yang dilakukannya terhadap sampel semen purba dari undak terjal teras satu ke dua, menemukan fakta yang lebih mengejutkan lagi. Ternyata material semen ini mempunyai komposisi utama 45% mineral besi dan 41% mineral silika. Sisanya adalah 14% mineral lempung dan juga terdapat unsur karbon. Ini adalah komposisi yang bagus untuk semen perekat yang sangat kuat, barangkali menggabungkan antara konsep membuat resin atau perekat modern dari bahan baku utama silika dan penggunaan konsentrasi unsur besi yang menjadi penguat bata merah.
Tingginya kandungan silika mengindikasikan bahwa semen ini bukan hasil pelapukan dari batuan kolom andesit disekelilingnya yang miskin silika. Kemudian, kadar besi di alam, bahkan di batuan yang ada di pertambangan mineral bijih sekalipun umumnya tidak lebih dari 5% kandungan besinya, sehingga kadar besi “semen Gunung Padang” ini berlipat kali lebih tinggi dari kondisi alamiah. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa material yang ada diantara batu-batu kolom andesit ini adalah adonan semen buatan manusia. Jadi teknologi masa itu kelihatannya sudah mengenal metalurgi. Satu teknik yang umum untuk mendapatkan konsentrasi tinggi besi adalah dengan melakukan proses pembakaran dari hancuran bebatuan dengan suhu sangat tinggi. Mirip dengan pembuatan bata merah, yaitu membakar lempung kaolinit dan illit untuk menghasilkan konsentrasi besi tinggi pada bata tersebut, jelas Andang. Indikasi adanya teknologi metalurgi purba ini lebih diperkuat lagi dengan temuan segumpal material seperti logam sebesar 10 sentimeter oleh tim Ali Akbar pada kedalaman 1 meter di lereng timur Gunung Padang. Material logam berkarat ini mempunya permukaan kasar berongga-rongga kecil dipermukaannya. Diduga material ini adalah adonan logam sisa pembakaran (“slug”) yang masih bercampur dengan material karbon yang menjadi bahan pembakarnya, bisa dari kayu, batu bara atau lainnya. Rongga-rongga tersebut kemungkinan terjadi akibat pelepasan gas CO2 ketika pembakaran.
Tim akan melakukan analisa lab lebih lanjut untuk meneliti hal ini lebih jauh.
Yang tidak kalah mencengangkan adalah perkiraan umur dari semen purba ini. Hasil analisis radiometrik dari kandungan unsur karbonnya pada beberapa sampel semen di bor inti dari kedalaman 5 – 15 meter yang dilakukan pada tahun 2012 di Laboratorium bergengsi BETALAB, Miami, USA pada pertengahan tahun 2012 menunjukan umur dengan kisaran antara 13.000 sampai 23.000 tahun lalu. Kemudian, hasil carbon dating dari lapisan tanah yang menutupi susunan batu kolom andesit di kedalaman 3-4 meter di Teras 5 menunjukan umur sekitar 8700 tahun lalu. Sebelumnya hasil carbon dating yang dilakukan di laboratorium BATAN dari pasir dominan kuarsa yang mengisi rongga diantara kolom-kolom andesit di kedalaman 8-10 meter di bawah Teras lima juga menunjukkan kisaran umur yang sama yaitu sekitar 13.000 tahun lalu. Fakta yang sangat kontroversial karena pengetahuan mainstream sekarang belum mengenal/mengakui ada peradaban (tinggi) pada masa se-purba ini, dimanapun di dunia, apalagi di nusantara yang konon masa pra-sejarahnya banyak diyakini masih primitif walaupun alamnya luarbiasa indah dan kaya; sementara di wilayah tandus gurun pasir Mesir orang bisa membuat bangunan piramida yang sangat luarbiasa itu. Tapi fakta di Gunung Padang berbicara lain. Rasanya bukan mustahil lagi bangsa Nusantara mempunyai peradaban yang semaju peradaban Mesir purba , bahkan pada masa yang jauh lebih tua lagi.
Struktur bangunan dari susunan batu-batu kolom berdiameter sampai 50 cm dengan panjang bisa lebih dari 1 meter ini sudah sangat spektakuler karena bagaimanakah masyarakat purbakala dapat menyusun batu-batu besar yang sangat berat ini demikian rapih dan disemen pula oleh adonan material yang istimewa. Selanjutnya survey geolistrik yang dilakukan di sekitar lokasi pengalian oleh tim geologi/geofisika dari LabEarth LIPI, menguak fakta yang tidak kalah fantastis dari fitur bangunan purba di bawah permukaan ini. Survey terbaru ini adalah survey pendetilan sebagai lanjutan dari puluhan lintasan survey geolistrik 2-D, 3-D dan survey georadar yang sudah dilakukan pada tahun 2011, 2012 dan awal 2013 di sekujur badan Gunung Padang dari kaki sampai puncak bukit. Hasil survey geolistrik memperlihatkan bahwa lapisan susunan batu kolom yang terlihat di kotak gali keberadaannya dapat diikuti terus sampai ke atas bersatu di bawah badan situs Gunung Padang di atas bukit, dan juga melebar sampai jauh ke kaki bukit (Gambar 5).
Fakta ini mendukung hasil penelitian ahli arsitektur Pon Purajatniko, anggauta tim terpadu yang juga pernah menjabat Ketua Ikatan Ahli Arsitektur Jawa Barat, yang pertama kali melontarkan gagasan tentang struktur teras-teras Gunung Padang mirip situs Michu Pichu di Peru.
Sampai saat ini penggalian dilakukan baru sampai kedalaman 4 meteran saja, namun survey geolistrik memperlihatkan bahwa dibawahnya masih ada kenampakan struktur bangunan dengan geometri yang terlihat menakjubkan sampai kedalaman lebih dari 10 meter. Hasil survey geolistrik, dan georadar juga sudah dapat memperlihatkan bahwa struktur (geologi) bawah permukaan yang membentuk morfologi bukit Gunung Padang adalah lapisan batuan dengan ketebalan 30-50 meter yang mempunyai nilai tahanan listrik (resistivitas) sangat tinggi (ribuan Ohm-Meter) berbentuk seperti lidah dengan posisi hampir horisontal, selaras dengan bukit memanjang utara-selatan dan miring landai ke arah utara. Jadi selaras juga dengan undak-undak teras yang dibangun di atasnya. Lapisan batu berbentuk seperli lidah ini juga mempunyai bidang miring yang rata ke arah barat dan timur bukit selaras dengan kemiringan lerengnya. Lapisan lava ini berada pada kedalaman lebih dari 10 meter di bawah permukaan.
Dari data pemboran yang dilakukan oleh DR. Andang Bachtiar dan juga analisis mikroskopik batuan dari sampel inti bor yang dilakukan oleh DR. Andri Subandrio, ahli geologi batuan gunung api dari Lab. Petrologi ITB dapat dipastikan bahwa tubuh batuan dengan resistivitas tinggi ini adalah batuan lava andesit, sama seperti tipe batu kolom dari situs Gunung Padang. Hal lain yang cukup menarik dari analisa petrologi adalah temuan banyaknya retakan-retakan mikroskopik pada sayatan tipis batu kolom andesit yang diduga non-alamiah karena retakan itu memotong kristal-kristal mineral penyusunnya.
Dari banyak penampang geolistrik, terlihat Lidah lava andesit ini mempunyai leher intrusi (sumber terobosan batuan vulkanis dari bawah) berlokasi di area lereng selatan dari situs Gunung Padang, jadi setelah cairan panas intrusi magma mencapai permukaan kemudian mengalir ke utara dan setelah mendingin membentuk lidah lava tersebut. Yang masih menjadi teka-teki besar adalah apakah tubuh batuan lava diperut Gunung Padang ini merupakan sumber dari batu-batu kolom andesit yang dipakai untuk menyusun situs? Boleh jadi benar, karena sampai saat ini tidak ditemukan ada sumber batuan kolom andesit dalam radius beberapa kilometer dari Gunung Padang.
Masalahnya tidak ada bekas-bekas penambangan atau lapisan lava yang tersingkap di area Gunung Padang. Jadi, apabila orang berhipotesa bahwa sumber batuannya dari dalam bukit, maka mau tidak mau harus juga mengasumsikan bahwa dulunya lapisan lava tersebut pernah tersingkap atau ditambang oleh manusia purba, kemudian baru batu-batu kolom yang sudah diambil tersebut disusun-ulang kembali untuk menutupi sekujur badan lava menjadi satu mahakarya monumen arsitektur besar yang luarbiasa. Perlu juga dicatat bahwa mengekstraksi batu-batu kolom andesit dari batuan induknya bukanlah hal yang mudah karena harus dapat memisahkan batu-batu besar dan berat tersebut dengan utuh dari batuan induknya dalam jumlah yang sangat besar. Berbeda dengan penambangan batuan biasa yang tidak perlu kuatir dengan batu yang pecah, misalnya dengan peledakan dinamit. Yang jelas untuk abad sekarang atau ratusan tahun kebelakang didunia ini tidak pernah ada penambangan batu-batu kolom andesit untuk dipakai sebagai bata bangunan.
Penelitian di Gunung Padang belum selesai. Tim Mandiri Terpadu , walaupun tanpa dibantu dana negara, akan terus bekerja keras meneliti banyak misteri besar yang masih belum terkuak. Termasuk melakukan pemboran atau eskavasi dalam untuk membuktikan dengan lebih gamblang keberadaan struktur bangunan dan ruang-ruang di bawah kedalaman 4-5 meter. Demikian juga pentarikhan umur situs walaupun sudah dilakukan dengan teliti dan hati-hati masih perlu dicek ulang dengan sampel-sampel yang lebih baik lagi, karena umur ini hal yang sangat vital untuk kesimpulan akhirnya nanti. Tim juga menduga bahwa situs Gunung Padang kemungkinan besar tidak dibangun dalam satu masa, tapi produk lebih dari satu lapis kebudaayaan. Misalnya, yang membuat batu-batu kolom menjadi menhir-menhir belum tentu sama dengan masyarakat yang membuat susunan batu-batu kolom dengan semen purba. Demikian juga bangunan susunan batu kolom andesit di permukaan atau yang sudah tertimbun beberapa meter di bawah belum tentu dibangun satu masa dengan struktur bangunan di bawahnya lagi.
Penelitian ala Tim Mandiri Terpadu memperlihatkan bahwa bahu membahu yang erat dari berbagai disiplin ilmu dengan metoda penelitian yang saling mengisi sangat diperlukan untuk menguak warisan kebudayaan nusantara. Masalah Gunung Padang tidak bisa lagi disampingkan. Walaupun masih banyak pertanyaan yang belum terjawab dan analisa yang belum tuntas, hasil-hasil penelitian yang sudah dicapai sudah memberikan banyak informasi penting dan harapan bahwa situs Gunung Padang berpotensi untuk setara dengan Borobudur, bahkan lebih bermakna karena dapat menjadi terobosan pengetahuan tentang “the craddle of civilizations” pada abad ini karena menjadi bukti monumen besar dari peradaban adijaya tertua di dunia yang entah karena bencana apa musnah ribuan tahun lalu dalam masa pra-sejarah Indonesia. Wallahua alam.
Gambar 1 dan 2
gambar 3 dan 4
gambar 5
No comments:
Post a Comment