Prasasti Batu Justru Dirusak Bangsa Sendiri

TRIBUN JABAR/FIRMAN SURYAMAN Hasbini (50), mengenakan topi kupluk, bersama warga menyaksikan dari dekat batu tulis paling besar, Senin (10/10/2011), dari tiga batu tulis yang ditemukan di Blok Pasir Pogor, Desa Linggaraja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Tasikmalaya. Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia Agus Aris Munandar mengungkap, aksara yang tercantum dalam prasasti batu kebanyakan dirusak leluhur bangsa Indonesia. Peperangan di masa silam menjadi faktor penentu prasasti batu itu dirusak.
"Prasasti-prasasti pada masa Jawa Kuno itu dirusak atas perintah penguasa atau raja pemenang perang yang tidak suka atas isi perintah dalam prasasti raja yang dikalahkan," kata Agus dalam seminar Internasional Epigrafi dan Sejarah Indonesia Kuna di Fakultas Ilmu Pengetahuan BUdaya Universitas Indonesia, Depok, Rabu (5/12/2012).
Agus mengatakan, konsekuensi dari peperangan adalah kerajaan yang kalah disatukan dalam kerajaan yang menang perang. Pihak pemenang akan menghancurkan simbol kekuasaan pihak yang kalah, termasuk istana. Prasasti, lanjutnya, termasuk dalam simbol kekuasaan yang dirusak itu.
Raja pemenang, terangnya, lebih menganggap isi prasasti dipandang tidak sesuai dengan keadaan zaman ketika dia memerintah.
"Prasasti dirusak agar keputusan raja terdahulu tidak lagi harus dipatuhi oleh masyarakat kemudian. Sebab, prasasti adalah tanda kebesaran seorang raja yang berkuasa. Prasasti juga perintah raja yang harus ditaati hingga akhir zaman. Selain itu, prasasti sebagai penanda wilayah yang dikuasai raja dan dokumen struktur kuasa sebab mencantumkan nama jabatan dan pejabatnya," tandasnya.
Ia menyebutkan, peperangan di masa silam sangatlah banyak. Dalam Kitab Carita Parahyangan disebutkan peperangan yang melibatkan raja Mataram Kuna Sanjaya. Raja tersebut memang diketahui gemar berperang untuk menundukkan daerah yang tidak ingin bergabung dengan kekuasaannya.
Selain itu, juga ada peperangan perebutan kekuasaan antara Rakai Pikatan melawan Balaputradewa yang terjadi di Mataram Kuno. Di masa selanjutnya, Raja Airlangga juga diketahui menundukkan musuhnya dengan cara peperangan. Begitu juga yang terjadi pada anak keturunannya yaitu Kerajaan Janggala dan Panjalu.
"Di masa kemudian, Ken Arok juga berperang melawan kerajaan Kadiri yang dipimpin raja Kertanegara. Di Akhir Singasari juga ada pemberontakan terhadap Krtanagara. Pendirian kerajaan Majapahit juga diwarnai perang yaitu perang Kertarajasa (Raden Wijaya) melawan tentara Tatar (Kubilai Khan dari Mongol)," terangnya.
Prasasti Dirusak Masyarakat Sekarang
Selain dirusak oleh bangsa sendiri, Agus menyebutkan masyarakat sekarang juga merusak prasasti. Perusakan itu justru terjadi dengan pengkramatan prasasti.
Di beberapa wilayah di Indonesia, keberadaan prasasti di desa dipandang sebagai barang keramat. Hal itu, menurutnya, mempercepat aksara dalam prasasti menjadi aus. Hal itu berakibat sejarah kuna bangsa Indonesia menjadi tetap gelap gulita.
"Di banyak wilayah, Prasasti disiram dengan bunga lalu dibersihkan dengan sikat. Hal itu mengakibatkan aksara dalam prasasti menjadi rusak, aus tidak terbaca oleh para epigraf," ungkapnya.
Kerusakan prasasti, lanjutnya, tidak sebatas pengkeramatan penduduk lokal. Menurutnya, prasasti juga dirusak oleh Museum itu sendiri. Museum berperan merusak prasasti dengan kegiatan yang tidak mengawetkan aset bersejarah berharga itu.
"Di Museum Daerah Tulungangung prasasti tidak dirawat, Prasasti itu dibiarkan saja di luar gedung karena kehujanan dan kepanasan jadi akhirnya hurufnya telah aus. Padahal, isi prasasti itu bisa saja sangat penting bagi rekontruksi sejarah bangsa," tegasnya.
Di luar kedua hal itu, prasasti juga dirusak karena ketidaktahuan masyarakat sekitar. Hal itu, dapat terlihat dari kondisi Prasasti Rejowinangun. Prasasti itu kini berada di Desa Plosorejo, Kademangan, Blitar, Jawa Timur. Kondisi prasasti itu telah aus sehingga bagian isi prasasti kini ditimpa dengan prasasti baru tentang peresmian masjid.
"Apakah itu kesinambungan fungsi? perlu kesadaran bersama untuk merawat sejarah melalui prasasti," pungkasnya.

Editor :
Tri Wahono














No comments: