Siti Manggopoh; Singa Betina dari Manggopoh, Minangkabau.

Pada tanggal 11 November 2008, dalam rangka se-abad kebangkitan nasional, Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Sumatera Barat mengadakan seminar Internasional yang bertemakan Perlawanan Anti-Belasting dan Gerakan Kemajuan di Sumatera Barat 1908-2008 di View Parai Resort Bukittinggi, Kab. Agam. Salah satu materi yang dibahas adalah perang anti-belasting Manggopoh. Siapa sebenarnya pelaku utama perang anti-belasting tersebut?
Ia adalah wanita pejuang yang berasal dari Manggopoh, kecamatan Lubuk Basung, Kab. Agam. Ia biasanya dipanggil dengan Mande Siti. Kapan ia lahir, tidak ada yang tahu. Namun diperkirakan ia lahir pada tahun 1885. ia dijuluki “Singa Betina Dari Manggopoh”. Ia populer karena keberanian dan kegigihannya dalam melawan penjajahan pemerintah kolonial di Minangkabau. Perlawanan yang ia lakukan dalam sejarah lokal Sumatera Barat dikenal dengan perang Manggopoh. Perang ini lahir akibat kebijakan belasting yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap rakyat Minangkabau.
Siti Manggopoh adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Masa kecilnya ia habiskan di surau. Ia mempelajari agama Islam dengan seorang guru yang berasal dari Padang. Di surau-lah semangat anti imperialisme timbul. Ia sangat membenci penjajahan. Siti Manggopoh menikah dengan Rasyid karena memiliki visi yang sama yaitu mengusir penjajahan dari bumi Minangkabau. Selain disetujui oleh pihak keluarga, ia juga memandang bahwa Rasyid-lah lelaki yang tepat dalam mendampinginya dalam berjuang.
Puncak perlawanan Siti Manggopoh dan rakyat Manggopoh adalah pada tanggal 16 Juni 1908. Dalam aksi tersebut, Mande Siti berhasil masuk ke dalam markas serdadu Belanda yang sedang mabuk dan ia berhasil membunuh beberapa orang. Sesaat kemudian datang rakyat Manggopoh yang menyerang secara serentak. Akibatnya banyak serdadu Belanda yang tewas. Sayangnya, seorang serdadu Belanda selamat dan berhasil melihat Mande Siti dan rakyat Menggopoh melakukan aksi penyerangan. Keesokan harinya Mande Siti dan suaminya dicari oleh prajurit Belanda. Setelah 17 hari mengejarnya, Mande Siti dan suaminya menyerahkan diri kepada Belanda.
Belanda langsung memasukkan Mande Siti dan Suaminya ke penjara secara terpisah. Sebelum menerima keputusan pengadilan, Mande Siti dan Suaminya mendekam dipenjara selama 14 bulan di penjara di Lubuk Basung, 16 bulan di Pariaman dan 12 bulan di Padang. Setelah dua kali di sidang akhirnya Mande Siti dijatuhi hukuman dibuang seumur hidup. Tetapi karena lain hal, akhirnya hukuman tersebut dibatalkan. Namun, suami Mande Siti, Rasyid divonis hukuman dibuang ke Menado. Akibatnya Mande Siti dan Rasyid jadi hidup berpisah. Akhirnya Rasyid meninggal di Tondano.
Mande Siti masih sempat menikmati alam kemerdekaan yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sayangnya, ketika itu banyak orang yang lupa akan jasa perjuangan Mande Siti. Baru pada tahun 1957, orang mulai mengingat akan perjuangan heroik Mande Siti. Pemerintah Sumatera Tengah yang beribukota di Bukittinggi mengirim satu tim ke Lubuk Basung dan memberikan bantuan ala kadarnya. Mande Siti merasa senang. Bantuan yang ia terima dijadikannya sebagai modal untuk membuka warung kecil di depan rumahnya.
Pada tahun 1960, Kepala Staf Angkatan Darat Jend. Nasution mendengar cerita heroik perjuangan Mende Siti. Ia sangat terharu sekali atas keperkasaan Mande Siti. Akhirnya ia memutuskan untuk datang ke Manggopoh untuk menemui Mande Siti. Ia mengalungkan selendang kepada Mande Siti sebagai lambang kegigihan dan keberaniannya melawan penjajahan. Masyarakat Manggopoh jadi haru ketika Jend. Nasution membopong dan mencium wajah tua keriput Mande Siti.
Pada tahun 1964, Menteri Sosial mengeluarkan Sk tertanggal 17 November 1964 No. Pal. 1379/64/P.K yang isinya menyatakan bahwa Mande Siti berhak menerima tunjangan atas jasa kepahlawanannya sebesar Rp 850,-. Tetapi entah kenapa Mande Siti hanya sekali saja menerima tunjangan tersebut. Dalam usia 80 tahun, Mande Siti meninggal dunia. Ia meninggal dengan tenang dirumah cucunya dikampung Gasan dan ia dimakamkan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Lolong, Padang.

Dedi Asmara / dari berbagai sumber

No comments: