Sisingamangaraja XII (Bagian I): Antara Silsilah dan Mitos

13520230601498106389
Kampung Bakkara
Sisingamangaraja adalah sosok yang tidak asing lagi di daftar Nama-Nama Pahlawan Nasional Indonesia, khususnya Sisingamangaraja XII. Tanah Batak terkenal dengan Danau Toba. Keindahan Danau Toba dari jaman dahulu sampai sekarang telah terkenal ke seluruh dunia. Tanah Batak tidak bisa dipisahkan dari Danau Toba. Raja Batak berasal dari Danau Toba, lahir dan besar disana, perkembangan si Raja Batak melahirkan sebuah kerajaan yang diberi nama Kerajaan Sisingamangaraja (Harajaon Sisingamangaraja). Kerajaan Sisingamangaraja ini mulai terbentuk abag – 16. Kerajaan ini muncul sebagai usaha menciptakan sebuah lembaga pemersatu antar keempat distrik Toba, khususnya mempererat kerjasama antar bius “punguan marga”, sekaligus menata hubungan dengan dunia luar dan dunia tetangga demi menjamin lalulintas perdagangan (hombar balok). Intinya Kerajaan Sisingamangaraja sama seperti kerajaan-kerajaan lain di tanah air di abab 15 – 16, seperti Kerajaan Majapahit, Pagaruyung, dll.
Lahirnya Sisingamangaraja I
Lahirnya seorang putra Lembah Bakkara, yang kemudian menjadi Sisingamangaraja I, tertuang dalam banyak mitos, oleh karena itu penulis membatasi diri pada satu versi mitos yang diceritakan oleh Almarhum Nenek saya dan sama persis dengan bentuk ringkasan berdasarkan teks tradisi lisan yang terdapat pada akhir abad ke – 19 dan permulaan abad – 20, yang dikisahkan seperti ini :
Tersebutlah seorang yang bernama Bona Ni Onan, bungsu dari tiga putra bermarga Sinambela. Anak bungsu ini ketika dewasa sering pergi berjalan jauh, mengembara untuk waktu yang agak lama. Suatu waktu, ketika pulang dari perjalanan jauhnya yang membutuhkan waktu beberapa tahun lamanya, ia menjumpai isterinya yang sekian tahun tidak dia gauli, dia terkejut karena isterinya telah hamil. Bona Ni Onan terkejut, karena bagaimana mungkin isterinya yang sudah sekian tahun dia tinggalkan dan tidak berhubungan intim bisa hamil. Masalah kesetiaan istri timbul pula di kalangan masyarakat umum Bakkara waktu itu. Dalam situasi yang penuh keraguan, pada suatu malam Bona Ni Onan bermimpi didatangi Roh. Roh itu menjelaskan bahwa bayi dalam kandungan isterinya adalah titisan roh Batara Guru dan kelak menjadi raja yang bergelar Sisingamangaraja. Setelah mimpi itu, Bona Ni Onan bertanya kepada sang isteri tentang pengalamannya ketika ditinggal sendirian dengan puteri mereka satu-satunya.
Sang isteri bercerita bahwa suatu kali ketika dirinya sedang mandi berlangir di mata air hutan keramat, Tombak Sulu-sulu (Hutan Obor), mendadak terdengar suara gemuruh dan tampak cahaya merasuki tubuhnya. Tidak lama kemudian sang isteri mengetahui bahwa dirinya telah hamil. Ia yakin bahwa kehamilannya adalah buah pertemuan/ kerasukan Roh Bona Ni Onan. Masyarakat menerima kebenaran makna peristiwa itu. Setelah kehamilan yang lama, jauh lebih lama dari biasa (19 bulan), isterinya melahirkan seorang putra. Anak itu diberi nama Manghuntal. Kelahiran Manghuntal diiringi gempa bumi dan gemuruh serta tanda-tanda alam dasyat lainnya. Kata Manghuntal berarti gemuruh gempa.
13520231291173349598
Gambar Makam Raja Sisigamangaraja
Di masa remaja dikisahkan bahwa Manghuntal menunjukkan sifat-sifat ajaib yang memperkuat ramalan bahwa dirinya akan menjadi Raja. Setelah dewasa ia melakukan perjalanan untuk memperoleh pengakuan akan kesaktian yang dimilikinya untuk menjadi Raja. Manghuntal pergi menyeberangi samudera (lewat Barus) ke suatu pulau tempat Raja Mahasakti bernama Raja Uti. Tujuannya ke tempat Raja Uti ialah meminta seekor Gajah Putih. Sesudah sampai ke tempat Raja Uti, ia tidak dapat langsung bertemu karena raja sedang bepergian. Demikianlah kata isteri Raja Uti. Kemudian Manghuntal disuguhi oleh isteri raja makanan dengan sayur daun umbi rambat, sesuai permintaan Manghuntal. Pada saat Manghuntal mengangkat sayur daun umbi rambat ke mulutnya dengan pandangan terarah ke beranda atas rumah, ia melihat Raja Uti. Ternyata moncong Raja Uti seperti moncong babi. Raja Uti lalu turun dan bertukar sapa dengan Manghuntal. Manghuntal menyampaikan permohonannya, yaitu meminta seekor gajah putih. Raja Uti bersedia memberi gajah putih yang diminta, dengan syarat Manghuntal harus mengumpulkan dan membawa sejumlah pertanda dari berbagai wilayah Danau Toba sebagai bukti kelayakannya menjadi Raja.
Manghuntal kemudian pulang ke Toba dan kembali ke Barus membawa pertanda-pertanda yang diminta. Setelah semua pertanda diserahkan kepada Raja Uti, Manghuntal menerima gajah putih dan sejumlah barang pusaka, di antaranya sebilah keris keramat sebagai pengakuan atas kesaktiannya menjadi Raja. Manghuntal pulang ke Bakkara lalu dinobatkan menjadi Sisingamangaraja sesuai dengan yang dikatakan oleh Roh kepada Bona Ni Onan ketika Manghuntal masih dalam kandungan. Sewaktu upacara penobatan di Bakkara, Manghuntal (Sisingamangaraja I) harus menempuh ujian terpenting, yaitu mencabut keris yang bernama Piso Gaja Dompak (Pisau Gajah Penangkal). Piso Gaja DOmpak itu tidak akan bisa dicabut dari sarungnya oleh seseorang yang tidak memiliki kesaktian, kecuali oleh orang yang memiliki kesaktian dan orang yang menjadi titisan Batara Guru (orang yang memang sudah ditakdirkan menjadi Raja). Manghuntal berhasil mencabutnya. Ia lalu dinobatkan menjadi Sisingamangaraja I, inkarnasi Batara Guru dan menanggalkan nama pribadi karena Batara Guru berkenan bersemayam dalam dirinya berbentuk Sahala.
Sahala Sisingamangaraja
Seperti itulah Cerita atau Mitos, tetapi yang dipercayai oleh Suku Batak dan Bangsa Indonesia perihal lahirnya Kerajaan Sisingamangaraja I. Raja Sisingamangaraja I sampai dengan yang ke – IX lebih banyak bekerja untuk mempersatukan Tanah Batak atau untuk memperluas Kerajaan Sisingamangaraja. Masa mereka berkuasa, Penjajah dari negeri asing belum sampai ke Pulau Sumatera. Sehingga Sisingamangaraja I sampai dengan IX menurut Cerita jika wafat tidak tahu persis makamnya, karena setelah Raja Sisingamangaraja I sampai dengan IX telah diangkat menjadi Raja, pekerjaan mereka adalah pergi mengelilingi Tanah Batak bersama pasukannya tanpa membawa Piso Gaja Dompak (Pisau Gajah Penangkal), maupun anak isterinya. Para Raja berpikir, jika sudah punya keturunan, maka mereka wajib mengembangkan kekuasaannya. Raja Sisingamangaraja periode I sampai IX dipastikan wafat, melalui tanda-tanda alam zaman itu, dimana jika ada cabang utama dari pohon Hariara Namarmutiha (Hariara Tanda) patah, berarti Sisingamangaraja telah wafat, jika yang patah adalah cabang pohon Hariara Namarmutiha, berarti ada anggota keluarga dari Raja Sisingamangaraja wafat.
Kembali ke Sahala, sahala dalam bangsa batak berarti daya kesaktian yang diperoleh lewat wahyu. Jika zaman dahulu Sahala adalah kesaktian yang diperoleh lewat transformasi Roh untuk menjadi Raja, sekarang Sahala adalah kesaktian yang diturunkan oleh Roh untuk mengobati, menjadi petunjuk atas suatu perbuatan jahat, penangkal atas kejahatan di dunia ini. Sahala yang melekat pada Sisingamangaraja adalah sahala yang sempurna dan sangat berbeda pengertiannya dari sahala biasa. Hal itu dibuktikan dalam pengangkatan Raja Sisingamangaraja selanjutnya, jika Raja telah wafat. Menurut Cerita Silsilah Sisingamangaraja selanjutnya dikatakan bahwa setelah Cabang Utama Pohon Hariara Namarmutiha telah patah, diikuti dengan munculnya musim kemarau di Bakkara yang berkepanjangan, sehingga masyarakat mengharapkan turunnya Hujan melalui ritual upacara Doa-Doa dari Raja Sisingamangaraja.
Untuk melakukan Upacara Doa ini, maka bius-bius marga yang ada di Bakkara yang disebut dengan Si Onom Ompu (Bakkara, Sinambela, Sihite, Simanullang, Marbun dan Simamora) mempersiapkan sebuah Gondang Besar, dan meminta Putera (anak) dari Raja Sisingamangaraja yang telah wafat untuk bersedia mereka gondangi. Dengan memakai ulos batak dan mengangkat Pinggan Pasu berisi beras Sakti beralaskan ulos Sande Huliman, Putera Raja inipun mulai Berdoa kepada Mula Jadi Na Bolon (Sang Pencipta Alam Semesta) sambil meminta Gondang dan Martonggo (Berdoa) untuk meminta diturunkan hujan. Saat Margondang dan Martonggo itulah, jika langit mendung dan turun hujan deras, maka masyarakat Si Onom Ompu akan berkata HORAS, HORAS, HORAS dan menyerahkan Piso Gaja Dompak kepada Putera Raja, sambil manortor, jika Putera Raja mampu mencabut keris tersebut dari sarungnya dan diangkat tinggi-tinggi, maka dialah Raja Sisingamangaraja selanjutnya, menggantikan ayahnya yang telah wafat. Jadi, dalam Kerajaan Sisingamangaraja yang ada di Bakkara, putera raja belum tentu yang paling tua (sulung, anak pertama), tetapi adalah Putera Raja yang mampu melaksanakan Upacara Berdoa menurunkan Hujan dan Mencabut Keris Piso Gaja Dompak.
Demikianlah selanjutnya sampai Raja Sisingamangaraja XII
Singamangaraja II, Ompu Raja Tinaruan
Singamangaraja III, Raja Itubungna.
Singamangaraja IV, Tuan Sorimangaraja.
Singamangaraja V, Raja Pallongos.
Singamangaraja VI, Raja Pangolbuk,
Singamangaraja VII, Ompu Tuan Lumbut,
Singamangaraja VIII, Ompu Sotaronggal
Singamangaraja IX, Ompu Sohalompoan,
Singamangaraja X, Ompu Tuan Na Bolon,
Inilah Bagian pertama dari Kisah Kepahlawanan Sisingamangaraja mudah-mudahan dapat menjadi aspirasi dan inspirasi bagi kita dalam menciptakan generasi bangsa Indonesia yang mampu mencintai Negara kita ini. Semoga tulisan ini makin memperkaya sudut pandang kita terhadap perjuangan para pahlawan bangsa ini, walaupun dalam kenyataannya bahwa Sisingamangaraja berjuang hanya untuk Daerah Batak, namun sumbangsihnya dalam menggalang masyarakat Batak, Aceh dan Sumatera Selatan di jamannya perlu di apresiasi, kemampuan beliau untuk bergerilya, mengorbankan anak dan isterinya untuk membebaskan Tanah Batak dari penjajahan harus kita tiru. Sampai jumpa di bagian II seri Pahlawan Nasional Indonesia.
Medan, 04 November 2012
Agus Oloan

No comments: