Sejarah Hilang di Kuala Batee
YAS | NASRUDDIN OOS | Foto : Ilustrasi Infanteri U.S menyerang benteng Kerajaan Aceh di Kuala Batu pada 1832
BLANGPIDIE – Peninggalan sejarah di bekas Kerajaan Kuala Batoo yang sekarang berada di Kecamatan Kuala Batee, Aceh Barat Daya, diduga telah banyak yang raib. Di antaranya adalah sejumlah meriam peninggalan masa penjajahan, termasuk sepucuk meriam emas yang kabarnya telah diboyong ke Banda Aceh.
“Dulu Bapak saya ditugaskan menjaga meriam oleh Teungku Daud Beureueh, tetapi sekarang meriam-meriam itu banyak yang sudah hilang,” kata Jasmi, 47 tahun, warga Kuala Batee kepada ATJEHPOSTcom, Sabtu, 3 November 2012.
Jasmi adalah anak kelima dari Cek Teh, putra Panglima Bugeh. Menurut Jasmi, ayahnya ditugaskan Teungku Daud Beureueh untuk menjaga meriam-meriam peninggalan masa Kerajaan Kuala Batoo dengan sepucuk surat. Hanya saja, kata Jasmi, surat itu telah hilang pada masa konflik beberapa tahun silam.
Sebagai penjaga meriam, kata Jasmi, ayahnya mendapat gaji dari pemerintah Provinsi Aceh. Gaji itu diterimanya hingga pertengahan 1990-an. “Setelah itu tidak pernah datang lagi gajinya,” kata Jasmi. Cek Teh sendiri telah meninggal dunia dua tahun lalu.
Kerajaan Kuala Batoo adalah salah satu daerah di Aceh yang namanya pernah menggegerkan Amerika Serikat. Ini lantaran warga setempat membajak sebuah kapal Amerika yang berjualan lada di sana pada 7 Februari 1831. Tiga awak kapal terbunuh. Kerugian diperkirakan sebesar US$ 50 ribu. Beruntung, kapal itu diselamatkan oleh kapal Amerika lain yang sedang melintas di perairan Kuala.
Pembajakan itu menimbulkan tanda tanya besar bagi Amerika. Sebab, itulah kali pertama kapal Amerika dibajak. Apalagi, ternyata kapal itu milik salah satu senator Amerika. M. Nur El Ibrahimy dalam bukunya berjudul Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh menyebutkan, peristiwa itu dipicu kemarahan orang Aceh karena merasa selalu ditipu Amerika dalam perdagangan lada.
Singkat kata, Amerika berang, lalu mengirim sebuah kapal perang bernama Potomac ke Aceh. Singkat cerita, Presiden Jackson setuju. Maka, dikirimlah kapal perang Potomac ke Aceh. Ini adalah kapal perang terbaik yang dimiliki Amerika saat itu.
Tepat setahun setelah pembajakan, perang pecah menjelang matahari terbit pada 6 Februari 1832. Warga Kuala Batee yang sudah mencium kedatangan kapal Amerika itu bersiap-siap di pantai. Amerika menyerbu benteng-benteng perlawanan. Korban jatuh dari kedua belah pihak. Namun, kapal Amerika berhasil menghancurkan Kuala Batee dengan melontarkan meriam ke pelabuhan.
Cerita heroic pertempuran warga Kuala Batee melawan Amerika itu hingga kini masih melekat di benak Jasmi. Ia mendengar cerita itu turun temurun. Sayangnya, kata Jasmi, kini tak ada lagi peninggalan sejarahnya. Itu sebabnya, ia berharap Pemerintah Kabupaten Abdya dapat membangun museum sejarah di bekas lahan Kerajaan Kuala Batoo agar asset sejarah dapat dikembalikan untuk dirawat dengan baik.
Sebelumnya, kata Jasmi, ada sekitar 20 meriam peninggalan masa kerajaan di sana. Itu termasuk 18 meriam yang ditemukan di rawa-rawa Gampong Keudee Baro dan Dusun Lama Muda, Gampong Lama Tuha, Kecamatan Kuala Batee, sekitar tahun 1998-1999. Dari 18 meriam itu, kini hanya tersisa satu: di Simpang T. Itu pun lantaran dijadikan monumen oleh TNI.
Selain meriam, kata Jasmi, banyak juga barang-barang antik peninggalan masa kerajaan yang raib.
“Kalau museum sejarah ada, meriam emas yang beberapa puluh tahun lalu dibawa ke Banda Aceh dapat dikembalikan. Selain itu, selama ini banyak meriam dijual secara kiloan ke tukang loak oleh orang yang tidak bertanggung jawab,” ujar pria yang sehari-hari bekerja sebagai penjaga makam Teungku Puteh, seorang ulama dari Banda Aceh yang meninggal di Kuala Batee itu.[]
“Dulu Bapak saya ditugaskan menjaga meriam oleh Teungku Daud Beureueh, tetapi sekarang meriam-meriam itu banyak yang sudah hilang,” kata Jasmi, 47 tahun, warga Kuala Batee kepada ATJEHPOSTcom, Sabtu, 3 November 2012.
Jasmi adalah anak kelima dari Cek Teh, putra Panglima Bugeh. Menurut Jasmi, ayahnya ditugaskan Teungku Daud Beureueh untuk menjaga meriam-meriam peninggalan masa Kerajaan Kuala Batoo dengan sepucuk surat. Hanya saja, kata Jasmi, surat itu telah hilang pada masa konflik beberapa tahun silam.
Sebagai penjaga meriam, kata Jasmi, ayahnya mendapat gaji dari pemerintah Provinsi Aceh. Gaji itu diterimanya hingga pertengahan 1990-an. “Setelah itu tidak pernah datang lagi gajinya,” kata Jasmi. Cek Teh sendiri telah meninggal dunia dua tahun lalu.
Kerajaan Kuala Batoo adalah salah satu daerah di Aceh yang namanya pernah menggegerkan Amerika Serikat. Ini lantaran warga setempat membajak sebuah kapal Amerika yang berjualan lada di sana pada 7 Februari 1831. Tiga awak kapal terbunuh. Kerugian diperkirakan sebesar US$ 50 ribu. Beruntung, kapal itu diselamatkan oleh kapal Amerika lain yang sedang melintas di perairan Kuala.
Pembajakan itu menimbulkan tanda tanya besar bagi Amerika. Sebab, itulah kali pertama kapal Amerika dibajak. Apalagi, ternyata kapal itu milik salah satu senator Amerika. M. Nur El Ibrahimy dalam bukunya berjudul Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh menyebutkan, peristiwa itu dipicu kemarahan orang Aceh karena merasa selalu ditipu Amerika dalam perdagangan lada.
Singkat kata, Amerika berang, lalu mengirim sebuah kapal perang bernama Potomac ke Aceh. Singkat cerita, Presiden Jackson setuju. Maka, dikirimlah kapal perang Potomac ke Aceh. Ini adalah kapal perang terbaik yang dimiliki Amerika saat itu.
Tepat setahun setelah pembajakan, perang pecah menjelang matahari terbit pada 6 Februari 1832. Warga Kuala Batee yang sudah mencium kedatangan kapal Amerika itu bersiap-siap di pantai. Amerika menyerbu benteng-benteng perlawanan. Korban jatuh dari kedua belah pihak. Namun, kapal Amerika berhasil menghancurkan Kuala Batee dengan melontarkan meriam ke pelabuhan.
Cerita heroic pertempuran warga Kuala Batee melawan Amerika itu hingga kini masih melekat di benak Jasmi. Ia mendengar cerita itu turun temurun. Sayangnya, kata Jasmi, kini tak ada lagi peninggalan sejarahnya. Itu sebabnya, ia berharap Pemerintah Kabupaten Abdya dapat membangun museum sejarah di bekas lahan Kerajaan Kuala Batoo agar asset sejarah dapat dikembalikan untuk dirawat dengan baik.
Sebelumnya, kata Jasmi, ada sekitar 20 meriam peninggalan masa kerajaan di sana. Itu termasuk 18 meriam yang ditemukan di rawa-rawa Gampong Keudee Baro dan Dusun Lama Muda, Gampong Lama Tuha, Kecamatan Kuala Batee, sekitar tahun 1998-1999. Dari 18 meriam itu, kini hanya tersisa satu: di Simpang T. Itu pun lantaran dijadikan monumen oleh TNI.
Selain meriam, kata Jasmi, banyak juga barang-barang antik peninggalan masa kerajaan yang raib.
“Kalau museum sejarah ada, meriam emas yang beberapa puluh tahun lalu dibawa ke Banda Aceh dapat dikembalikan. Selain itu, selama ini banyak meriam dijual secara kiloan ke tukang loak oleh orang yang tidak bertanggung jawab,” ujar pria yang sehari-hari bekerja sebagai penjaga makam Teungku Puteh, seorang ulama dari Banda Aceh yang meninggal di Kuala Batee itu.[]
No comments:
Post a Comment