Pongtiku, Sang Penantang Terakhir

Hari ini bila kita berkunjung ke Toraja, bila kita berjalan di wilayah tepi sungai Sadan, tepatnya di pusat Kota Rantepao, kita akan melihat Patung Pongtiku yang berdiri tegak sebagai simbol keberanian dan perlawanan orang Toraja atas penjajah yang hendak datang dan merampas kemerdekaan orang Toraja. Namun, alangkah baiknya kita mengenal cerita dan sejarah kepahlawanan Pongtiku agar di hari-hari ke depan, kita akan lebih menghargai kebebasan dan kemerdekaan yang sudah kita miliki di hari ini.
Kisah Pongtiku sendiri adalah sebuah bagian yang berkelanjutan dari beberapa perang besar yang yang terjadi di wilayah selatan Sulawesi akibat Kolonialisme Belanda yang berusaha menguasai sumber-sumber daya dan perdagangan di wilayah timur Hindia Timur (Oost Indie). Oleh karenanya ada baiknya kita mengenal sedikit peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum kelahiran Pongtiku dan sebelum Belanda mulai memasuki dan menguasai wilayah Toraja.
PERANG MAKASSAR (1667-1669), AKHIR BAGI GOWA, AWAL BAGI BONE
Hingga akhir abad ke-19, setelah lebih 230 (dua ratus tiga puluh) tahun menancapkan kuku kekuasaan di Sulawesi Selatan dengan mengalahkan Kerajaan Gowa-Tallo, tampaknya Belanda belum menunjukkan ketertarikan untuk menduduki wilayah Toraja yang berada jauh tengah-tengah wilayah Sulawesi. Orang-orang Toraja sendiri di masa itu menikmati hubungan dagang dengan berbagai kerajaan di sekitarnya, termasuk dengan Kerajaan Bone yang menjadi protektorat Pemerintah Hindia Belanda di bagian selatan pulau Sulawesi.
Bila kita melihat sejenak lebih ke belakang, wilayah Toraja pada saat itu berada dalam dua pengaruh kerajaan kuat di selatan Sulawesi, yaitu Kerajaan Sidenreng (Pare-Pare) dan Kerajaan Luwu (Palopo). Kedua kerajaan ini memiliki hubungan pasang-surut dengan Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa-Tallo yang berada lebih ke selatan pulau Sulawesi. Pasca kekalahan Kerajaan Gowa dalam Perang Makassar (1667-1669), Kerajaan Bone menjadi kerajaan yang terkuat dengan dukungan VOC. Walau Kerajaan Bone memiliki keuntungan sebagai pemenang perang bersama-sama dengan Belanda, keadaan ini tidak otomatis membuat Kerajaan Bone menjadi penguasa tunggal di wilayah selatan pulau Sulawesi. Diperlukan waktu bertahun-tahun bagi Kerajaan Bone untuk menaklukkan semua kerajaan dan wilayah di selatan Sulawesi.
Posisi Kerajaan Bone semakin sulit karena sebagai sekutu Belanda, mereka harus bersedia membantu bilamana Belanda mengalami perang di daerah kekuasaannya yang lain. Dalam tata pemerintahan di selatan Sulawesi pun Kerajaan Bone harus banyak dikontrol oleh Belanda sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian Bungaya tahun 1667. Di tahun 1670, Perjanjian Bungaya ini pun tampaknya semakin kuat setelah kalah dan wafatnya Sultan Hasanuddin, penguasa Kerajaan Gowa, kerajaan yang sebelumnya menguasai hampir seantero Sulawesi Selatan.
Setelah bertahun-tahun disibukkan oleh urusan dalam negeri, perlahan tapi pasti, Arung Palakka bersama Karaeng ri Gowa mulai melakukan ekspedisi untuk menaklukkan Sidenreng, sebagian dari Mandar, dan Masenrempulu’. Setelah berhasil menaklukkan hampir semua kerajaan di Sulawesi Selatan, Arung Palakka pun mulai mengincar wilayah Toraja. Di tahun 1683 pasukan Arung Palakka dan Karaeng ri Gowa yang didukung oleh pasukan Sidenreng dan Mandar berhasil menduduki beberapa desa di wilayah Ma’kale-Rantepao. Penguasaan Bone atas beberapa wilayah Toraja tidak selamanya berjalan mulus. Di tahun-tahun selanjutnya pasukan Kerajaan Bone harus terus-menerus menghadapi kenyataan bahwa tidak ada satu orang Toraja pun yang rela ditindas dan dijadikan hamba Kerajaan Bone. Perlawanan orang Toraja terhadap penguasaan Bone dikenal lewat gerakan yang bersemboyan To Pada Tindo To Misa’ Pangimpi (Manusia Sama Derajatnya, Manusia Sama Impiannya).
Perlawanan orang Toraja ternyata belum membuat pasukan Bone jera. Pada tahun 1702 dan 1705 pasukan Bone masih mencoba menguasai wilayah Toraja. Hingga akhirnya pada tahun 1710, di desa Malua’, orang-orang Toraja dan Bone membuat sebuah perjanjian perdamaian yang kemudian dikenal sebagai Basse Malua’. Saat ke Toraja sempatkan diri ke Makam Pahlawan Pongtiku di Pangala', Toraja Utara (foto koleksi pribadi, akhir Juli 2012)


Bila melihat sejarah panjang Toraja dan Sulawesi Selatan, maka tak pelak lagi kita akan mendapati Pongtiku adalah penantang Belanda yang terakhir di daerah selatan Sulawesi, dan sekaligus penantang utama Belanda di wilayah Toraja. Semangat perjuangan Pongtiku ini tampak lewat sumpah yang diucapkannya sendiri, yaitu: “Iatu Tolino Pissanri Didadian, sia Pissanri Mate Iamoto Randuk Domai Tampak Beluakku Sae Rokko Pala’ Lette’ku, Nokana’ Lanaparenta Tumata Mabusa” (Manusia hanya sekali dilahirkan dan mati, dari ujung rambut sampai telapak kakiku, saya tidak akan rela diperintah oleh Belanda). Semangat ini pun terlihat dari perjuangan gigih yang membawa Pongtiku ke dalam kobaran perang dengan Belanda yang berlangsung lebih dari setahun lamanya.
Pada tahun 1964, atas keberanian dan perjuangannya, Pemerintah Tana Toraja mengakui dan menyatakan Pongtiku sebagai Pahlawan Nasional. Setelah lebih dari 95 (sembilan puluh lima) tahun wafatnya, tepatnya pada 6 November 2002, Pemerintah Republik Indonesia lewat Dekrit Presiden 073/TK/2002 pun mengakui Pongtiku sebagai Pahlawan Nasional Indonesia yang ikut memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan di Indonesia.
~ ~ ~
Tulisan ini adalah hasil pengolahan, analisis, dan saduran dari berbagai sumber: teks, peta, foto, video, & diskusi dengan tua-tua di Toraja Utara antara tahun 2011-2012.
Untuk informasi lebih lanjut, disarankan untuk mempelajari sumber-sumber berikut:
BIGALKE, Terance W. 1981. A Social History of “Tana Toraja” 1870-1965, (PhD Dissertation, Michigan London).
LIJF, J.M.van. 1947/48 “Kentrekken en problemen van de geschiedenis der Sa’dan-Toradja-landen”, IndonesiĆ«, I : 518-535.
POL, H. 1940. “Geschiedenis van Loewoe”, dlm. Om te gedenken; Vijfentwintig jaar Zendingsarbeid van den G.Z.B. onder de Sa’dan Toradja’s, Zuid-Midden-Celebes, (Delft): 119-140.
SARIRA, J.A. 1975. Suatu Survey mengenai Gereja Toraja Rantepao; BENIH YANG TUMBUH VI, (Rantepao-Jakarta): khususnya Bab I.
TANGDILINTIN, L.T. 1978. Sejarah dan Pola-Pola Hidup Toraja, (Yalbu Tana Toraja, Ujung Pandang).
Veen, H. van der. 1940. “Voorheen en thans”, dlm. Om te gedenken: 35-53.
Video Pemakaman Pong Maramba’ yang dikeluarkan oleh FilmMuseum, Netherland.
Foto-Foto Kehidupan Orang Toraja yang dikeluarkan TropenMuseum, Netherland.
Wikipedia Indonesia: http://id.wikipedia.org/wiki/Pong_Tiku
Wikipedia Inggris: http://en.wikipedia.org/wiki/Pongtiku
Wikipedia Belanda: http://nl.wikipedia.org/wiki/Tweede_Boni-expeditie

Masrianto

No comments: