Pembaruan Di Mesir
Reformasi Islam lahir pada akhir abad ke-19 sebagai jawaban terhadap
pengaruh dunia barat yang yang gencar menyerang kaum muslimin.
Sedangkan yang menjadi isu sentral mereka adalah upaya agar keyakinan
agama sesuai dengan pemikiran modern. Termasuk pula dalam hal ini
tentunya, pemahaman umat Islam terhadap Alquran.
Kesadaran akan perlunya diadakan pembaharuan timbul pertama kali di Kerajaan Turki Utsmani dan Mesir. Orang-orang Turki Utsmaniyah sejak awal telah mempunyai kontak langsung dengan Eropa, karena kekuasaan Kerajaan Turki Ustmani hingga abad ke-17 Masehi telah mencapai Eropa Timur yang meluas sampai ke gerbang kota Wina. Tetapi sejak abad ke-18, Kerajaan Tukri Ustmani mulai mengalami kekalahan dari kerajaan-kerajaan Eropa. Kekalahan oleh Eropa –yang pada abad-abad sebelumnya masih dalam keadaan mundur– inilah yang menjadi pemicu adanya pembaharuan di Kerajaan Turki.
Sementara pembaharuan yang terjadi di Mesir terjadi sejak terjadinya kontak dengan Eropa yang dimulai dari datangnya ekspedisi Napoleon Bonaparte yang mendarat di Aleksandria pada tahun 1798 M. Kedatangan Napoleon ini juga membawa banyak oleh-oleh dari Eropa yang berupa ilmu pengetahuan, kebudayaan dan teknologi, hingga ia mampu mendirikan lembaga ilmiah Institut d’Egypte. Di samping itu Napoleon juga mempunyai hubungan baik dengan ulama-ulama Al-Azhar. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya pembaharuan dalam Islam di Mesir.
Berbicara tentang proses pembaharuan di Mesir, di kenal beberapa orang tokoh pembaharu yaitu Jamaluddin al-Afghani (1839-1877 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M) dan Rasyid Ridha (1864-1935 M).
Kesadaran akan perlunya diadakan pembaharuan timbul pertama kali di Kerajaan Turki Utsmani dan Mesir. Orang-orang Turki Utsmaniyah sejak awal telah mempunyai kontak langsung dengan Eropa, karena kekuasaan Kerajaan Turki Ustmani hingga abad ke-17 Masehi telah mencapai Eropa Timur yang meluas sampai ke gerbang kota Wina. Tetapi sejak abad ke-18, Kerajaan Tukri Ustmani mulai mengalami kekalahan dari kerajaan-kerajaan Eropa. Kekalahan oleh Eropa –yang pada abad-abad sebelumnya masih dalam keadaan mundur– inilah yang menjadi pemicu adanya pembaharuan di Kerajaan Turki.
Sementara pembaharuan yang terjadi di Mesir terjadi sejak terjadinya kontak dengan Eropa yang dimulai dari datangnya ekspedisi Napoleon Bonaparte yang mendarat di Aleksandria pada tahun 1798 M. Kedatangan Napoleon ini juga membawa banyak oleh-oleh dari Eropa yang berupa ilmu pengetahuan, kebudayaan dan teknologi, hingga ia mampu mendirikan lembaga ilmiah Institut d’Egypte. Di samping itu Napoleon juga mempunyai hubungan baik dengan ulama-ulama Al-Azhar. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya pembaharuan dalam Islam di Mesir.
Berbicara tentang proses pembaharuan di Mesir, di kenal beberapa orang tokoh pembaharu yaitu Jamaluddin al-Afghani (1839-1877 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M) dan Rasyid Ridha (1864-1935 M).
A. Jamaluddin Al-Afghani
Jamaluddin
Al-Afghani dilahirkan di Afganistan tepatnya di As’ad Abad salah satu
kawasan Zon Kunar pada tahun 1254 H atau 1838 M. Ia sangat jenius,
sehingga banyak mempelajari buku-buku Islam dan filsafat. Berbagai ilmu
telah dipelajarinya; filsafat, hukum, astronomi, sejarah kedokteran,
matematika, methafisika. Kejeniusannya menghantarkan Jamaluddin
menguasai enam bahasa (Arab, Inggris, Perancis, Turki, Persia dan
Rusia).
Jamaluddin
Al-afghani adalah perintis modernisme Islam, khususnya aktivisme anti
imperialis. Dia terkenal karena kehidupan dan pemikirannya yang luas,
dan juga menganjurkan dan mempertahankan, bahwa persatuan pan-Islam
merupakan sarana untuk memperkuat dunia Muslim menghadapi barat. Afghani
lahir di Iran dan berpendidikan Syi’ah, bukan Sunni yang sering
diakuinya.
Beliau merupakan
salah satu tokoh yang pertama kali menyatakan kembali ke tradisi Muslim
dengan cara yang sesuai dengan berbagai problem penting yang muncul
akibat Barat semakin mengusik Timur Tengah di abad XIX. Dengan menolak
tradisionalisme murni yang mempertahankan warisan Islam secara tidak
kritis di satu pihak, dan peniruan membabi buta terhadap Barat di lain
pihak, Afghani menjadi perintis penafsiran modern, seperti penggunaan
akal, aktivisme politik, serta kekuatan militer dan politik.
Sebagai modernis
Islam pertama, yang pengaruhnya dirasakan di beberapa negara, Afghani
memicu kecenderungan menolak tradisionalisme murni dan westernisasi
murni. Meski afghani di kemudian hari, dan sejak meninggalnya, diakitkan
dengan pan-Islam, tulisan pan-Islamnya hanya menjadi bagian dari
dasawarsa penting tahun 1880-an. Dalam hidupnya dia mempromosikan sudut
pandang yang saling bertentangan. Dan pikirannya juga memiliki afinitas
dengan berbagai kecenderungan di dunia Muslim. Ini meliputi liberalisme
Islam yang diserukan oleh Muhammad ‘Abduh, orang Mesir yang menjadi
muridnya; kebangkitan Islam konservatif yang diajukan oleh berbagai
bentuk oleh pengikuit ‘Abduh yang bernama Rasyid Ridha, oleh Ikhwanul
Muslimun, dan oleh berbagai gerakan Islam kontemporer; dan juga
pan-Arabisme dan bentuk lain nasionalisme.
Setelah
melanjutkan pendidikannya di Kota Suci Syi’ah, Karbala dan Najaf, ia
pergi ke India pada usia akhir belasan tahunnya, sekitar pada masa
pemberontakan India pada 1857. Kata-katanya yang paling direkam dalam
sejarah pada 1860-an sampai meninggalnya, tema yang paling konsisten
dalam hidupnya ialah memusuhi pemerintahan Inggris di bumi kaum
Muslimin. Ini karena merupakan reaksi dari kebijakan pemerintahan
Inggris di India yang bermaksud merongrong Islam dan memperkuat Kristen.
Dan ternyata rupanya kontak pertama Afghani terhadap pemikiran Barat
terjadi di India.
Modernis
dialamatkan kepada Jamaludiin karena seringnya bergesekkan dengan
peradaban Barat yang modern, pemikiran-pemikirannya rasional mendambakan
Islam berkembang tidak kalah dengan Barat. Islam harus juga
memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, Jamaluddian menggunakan metode konstruktif Reformisme
dengan mengembalikan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Itulah pola
dan corak berfikir Jamaludin yang modernis. Ia membangkitkan semangat
umat Islam untuk melawan penjajahan dan kekuasaan absolut, mendorong
umat Islam mempelajari sains dan teknologi Barat tanpa terbaratkan.
Di Mesir Al-Afghani dapat
mempengaruhi massa intelektual dengan pikiran-pikiran barat antara lain
mengenai ide trias politika melalui terjemahan bahasa Arab yang berasal
dari bahasa Perancis yang dilakukan oleh At-Tahthawi. Ia berhasil
membentuk Partai Nasional (Al-Hizbu al-Watani) di sana dan
mendengungkan Mesir untuk bangsa Mesir, memperjuangkan pendidikan
universal, kemerdekaan pers, dan memasukkan unsur-unsur Mesir dalam
bidang militer. Al-Afghani berusaha menumbangkan penguasa Mesir Khadewi
Ismail dan menggantikannya dengan putera mahkota, Tawfiq yang ingin
mengadakan pembaharuan di Mesir. Tetapi setelah Tauwfik berkuasa, ia
tidak dapat melaksanakan programnya, bahkan penguasa baru yang didukung
oleh Al-Afghani itu mengusirnya karena tekanan dari pihak Inggris, tahun
1879.
Afghani di awal
tahun 1880-an terkenal karena sikap keberagamaanya yang kuat atau bisa
dikatakan sangat religius. Kemudian kenapa pada awal 1880-an Afghani mau
menampilkan diri untuk pertama kalinya sebagai pembela besar Islam, dan
kemudian pembela besar pan-Islam? Barangkali dia mendapat pengaruh
dari sebagian kecenderungan yang juga telah mengubah tokoh lain,
seperti Namik Kemal dari ‘Utsmaniyah menjadi pembela Islam.
Afghani adalah
pencetus paling penting kecenderungan untuk mengubah Islam dari
kepercayaan keagamaan (dengan elemen kendali sosial dipegang oleh ulama
dan pihak yang berkuasa) menjadi ideologi politik-agama yang menekankan
sasaran yang secara tradisional dianggap tidak religius.
Seperti sudah
disebutkan bahwa Afghani menyuarakan gagasan, antara lain seperti
pan-Islam reformis, yang pertama kali dikemukakan oleh ‘Utsmaniyah Muda,
namun ‘Utsmaniyah Muda ini sangat kurang pengaruhnya di kalangan
bangsa yang bahasanya bukan Turki. Pengaruh utama Afghani disebabkan
oleh dua orang, yaitu dua muridnya yang orang Mesir, Muhammad ‘Abduh dan
pengikut ‘Abduh, Rasyid Ridha.
Al-Afghani
menginginkan adanya persatuan umat Islam baik yang sudah merdeka maupun
masih jajahan. Gagasannya ini terkenal dengan Pan Islamisme. Ide besar
ini menghendaki terjalinnya kerjasama antara negara-negara Islam dalam
masalah keagamaan, kerjasama antara kepala negara Islam. Kerjasama itu
menuntut adanya rasa tanggungjawab bersama dari tiap negara terhadap
umat Islam dimana saja mereka berada, dan menumbuhkan keinginan hidup
bersama dalam suatu komunitas serta mewujudkan kesejahteraan umat Islam
Ide Islah maksudnya adalah untuk perbaikan
atau perubahan terencana ke arah yang lebih baik demi kemajuan Islam.
Ide-ide gerakan “Islah” yang dikumandangkan Jamaladdin Al-Afghani adalah
sebagai berikut :
1. Mengembalikan kecemerlangan umat Islam yaitu kembali pada ajaran yang benar.
2. Membina perpaduan, persatuan dan kesatuan tanpa memandang bangsa dan negara serta budaya melalui gagasannya Jami’ah Islamiyah (Pan-Islamisme)
3. Mengkritik taklid ‘ama yaitu mengikuti segala sesuatu secara membabi buta.
Sebenarnya ide “Ishlah”, pembaharuan atau reformasi tersebut bermuara pada kebangkitan umat Islam dari keterpurukan penetrasi Barat terhadap dunia Timur.
3. Mengkritik taklid ‘ama yaitu mengikuti segala sesuatu secara membabi buta.
Sebenarnya ide “Ishlah”, pembaharuan atau reformasi tersebut bermuara pada kebangkitan umat Islam dari keterpurukan penetrasi Barat terhadap dunia Timur.
Ide dan gagasan pembentukan “Al-Jami’ah
Al-Islamiyah” atau “Pan-Islamisme” dikemukakan setelah Jamaluddin
mendapatkan tempat layak dari Sultan Abdul Hamid di Istambul turki.
Pan-Islamisme diharapkan bergabungnya kekuatan-kekuatan negara Timur
yang terdiri dari, Persia, Afghanistan, dan Turki serta wilayah-wilayah
yang ada di bawahannya dengan semacam persatuan dan perjanjian.
Gagasan besar Jamaludin Al-Afghani terkenal dengan PAN-ISLAMISME ( Al-Jami’ah Al-Islamiyah
; persatuan dan kesatuan dunia Islam). Tujuan akhirnya adalah
menyatukan negara-negara Islam dalam satu komando kepemimpinan yang
mampu menghalau campur tangan Eropa dan mewujudkan kembaIi kejayaan
Islam. Perjuangannya bertujuan membangun sistem politik berdasarkan
persaudaraan Islam (Ukhuwah Islamiyah) yang telah berantakan di tangan
penjajah.
Dalam buku Mohammedanism; An Historical Survey: He
was the founder and inspiration of the Pan-Islamic movement, which
sought to unite all Muslim peoples under the Ottoman Caliphate; and
though he failed in this, his supreme objective, his influence lives on
in the more recent popular movements which combine Islamic
fundamentalism with an activist political programme. (Dia adalah pendiri dan inspirasi dari gerakan Pan-Islam, yang berusaha untuk menyatukan semua bangsa-bangsa Muslim di bawah Kekhalifahan Ottoman, dan meskipun ia gagal dalam hal ini, itu tujuan tertinggi, pengaruhnya hidup dalam gerakan rakyat yang lebih baru yang menggabungkan fundamentalisme Islam dengan program aktivis politik)
Pengalaman yang diserap Al-Afghani
selama lawatannya ke Barat menumbuhkan semangatnya untuk mamajukan
umat. Barat yang diperankan oleh Inggris dan Prancis mulai hendak
menancapkan dominasi politiknya di dunia Islam, maka pasti akan
berhadapan dengan Al-afghani. Adanya anggapan dasar yang dipegang oleh
Al-Afghani menghadapi Barat seperti diungkapkan L. Stoddard yakni :
1. Dunia Kristen sekalipun mereka berbeda dalam keturunan, kebangsaan, tetapi apabila menghadapi dunia Timur (Islam) mereka bersatu untuk menghancurkannya.
2. Semangat perang Salib masih
tetap berkobar, orang Kristen masih menaruh dendam. Ini terbukti umat
Islam diperlakukan secara diskriminatif dengan orang Kristen.
3. Negara-negara Kristen membela
agamanya. Mereka memandang Negara Islam lemah, terbelakang dan biadab.
Mereka selalu berusaha menghancurkan dan menghalangi kemajuan Islam.
4. Kebencian terhadap umat Islam
bukan hanya sebagain mereka, tetapi seluruhnya. Mereka terus-menerus
bersembunyi dan berusaha menyembunyikannya.
5. Perasaan dan aspirasi umat Islam
diejek dan difitnah oleh mereka. Istilah nasionalisme dan patriotosme
di Barat, di Timur disebut fanatisme.
Menurut Al-Afghani, hal-hal
tersebut di atas menuntut adanya persatuan umat Islam untuk menghadapui
dunia Barat dan mempertahankanya dari keruntuhan. Disamping itu
Al-Afghani melihat bahwa kondisi umat Islam sendiri memang berada dalam
kemunduran yang mengkhawatirkan. Kemunduran tersebut menurutnya bukan
karena ajaran Islam, tetapi oleh umat itu sendiri yang yang tidak
berupaya mengubah nasibnya. Perpecahan terjadi di kalangan mereka maka
pemerintahan menjadi absolut, pemimpin tidak dapat dipercaya, lemah
dalam bidang militer dan ekonomi bersamaan dengan datangnya intervensi
asing. Menghadapi paham fatalisme, Al-Afghani mengajak umat Islam
merebut peradaban, kebudayaan, ilmu pengetahun Barat yang positif dan
sesuai ajaran Islam. Dengan demikian, umat Islam akan dinamis dan tidak
menerima apa adanya serta menyerukan bahwa pintu ijtihad tidak tertutup.
Ia selanjutnya menegaskan bahwa dalam Islam ada kemerdekaan dan
kedaulatan umat. pemerintah dapat saja dikritik dan tidak berkuasa
mutlak. Al-Afghani mengajak umat, pemimpin dan kelompok agar bersatu dan
bekejasama dalam meraih kemajuan dan membebaskan diri dari itervensi
Barat. Untuk tujuan di atas, Al-Afghani mencetuskan ide Pan Islamisme.
Semangat ini dikobarkan ke seluruh negeri Islam yang tengah berada dalam
kemunduran dan dominasi Barat. Pan Islamisme (Al-jami’iyyah
Al-Islamiyyah) ialah rasa solidaritas seluruh umat Islam. Solidaristas
sepeti itu sudah ada dan diajarkan sejak Nabi SAW, baik dalam menghadapi
kafir Quraisy ataupun dalam kegiatan-kegiatan sebagai upaya
menciptakan kesejahteraan umat.
Semangat pan Islamisme yang
diserukan Al-Afghani memberikan pengaruah besar di kalangan umat
terutama bagi para pemimpinnya. Hal ini kemudian menyadarkan mereka
akan besarnya ancaman Barat. Sultan Abdul Hamid dari Kerajaan Turki
Usmani misalnya menyambut dengan penuh antusias. Ia mendirikan organisai
seruan Pan-Islamisme mengutus banyak orang ke berbagai negeri Islam
dengan pesan agar umat Islam bersatu dan meleaskan diri dari
pemerintahan Barat. Hal ini dilakukan oleh Sultan selama 30 tahun.
Seruan Pan-Islamisme menghasilkan
pengaruh yang sangat besar dan mendalam. Di berbagai negeri muslim telah
lahir tokoh-tokoh di kalangan umat yang berjuang menuntut kemerdekaan
dari penjajah Barat, seperti Abdul Hamid di Turki, Muhamamd Abduh dan
Saad Zaghlul di Mesir serta torkoh lainnya.
B. Muhammad ‘Abduh
‘Abduh adalah
orang Mesir pertama yang menunjukkan keterbelakangan masyarakat Mesir
dan fakta bahwa masyarakat Mesir telah kehilangan kapasitas untuk untuk
memperbarui dirinya. Problem sosial-politik Mesir, katanya, terjadi
karena warisannya sendiri yang telah membuat Mesir tidak mampu
menanggapi tantangan zaman. Menurutnya, kelemahan kaum muslim disebabkan
oleh perpecahan internal umat, tercabangduanya kekhalifahan, dan
terpecahnya umat Muslim menjadi bangsa-bangsa kecil yang beragam sekte
dan keyakinannya yang saling bertikai demi kesetiaan kepada pemimpin.
Katanya, ajaran Islam menunjukkan bahwa nasib yang menimpa kaum Muslim
merupakan cobaan dari Tuhan, hukuman atas ketidaktaatan. Kemunduran
masyarakat Muslim merupakan hukuman yang dijanjikan dalam Al-Qur’an.
Juga disebabkan oleh kebodohan dan salah memahami iman, dan karena
perpecahan sektarian, karena tertutupnya pintu ijtihad, dan karena
kekeliruan kebijakan pemimpin Islam.Dia menegaskan untuk memulai
pembaruan, kita perlu kembali kepada pokok-pokok iman yang dipandang
sebagai Islam yang sebenarnya oleh berbagai mazhab, berbagai kelompok.
Dia menyerukan agar menggunakan tradisi yang terbaik, dan agar taklid
buta dikutuk, karena merintangi kemajuan.
Perhatian utama
‘Abduh adalah problem kemunduran umat Islam. Ia mengatakan, keunggulan
Barat terjadi karena Barat mengambil yang terbaik dari Islam untuk
dirinya sendiri. Kaum muslim kedudukannya rendah, karena mereka telah
meninggalkan Islam yang sejati. Begitu kaum Muslim mendapatkan kembali
semangat yang pernah dimilikinya dahulu, yang membuat mereka tampil di
pentas dunia dan membangun peradaban besar, maka mereka akan mempu
meraih kembali posisi unggul mereka.
Bagi ‘Abduh,
persoalannya bukanlah apakah mungkin menjadi Muslim sambil tetap
menerima dunia modern. Tapi apakah Islam relevan dengan modernitas atau
tidak. Karena itu, dia ingin membuktikan bahwa Islam memang merupakan
agama yang rasional, yang dapat menjadi basis kehidupan di dunia modern.
Menurutnya, tak ada konflik antara Islam dan prinsip peradaban modern.
Katanya, Islam memang harus meluruskan peradaban modern, dan
membersihkannya dari nodanya. Bila peradaban modern mengenal Islam
sejati, maka Islamakan jadi pembela gigih, dan sumber kekuatannya.
Kekakuan akan sirna, dan bukti terkuatny adalah bahwa Al-Qur’an tetap
bertahan sebagai saksi kebenaran Islam.
Teologi Rasionalisme yang dicetuskan oleh Muhammad Abduh ini
berisi tentang bagaimana ia memandang tentang Tuhan, agama, kitab suci,
Nabi-Nabinya serta penciptaan seluruh makhluk Tuhan. Muhammad Abduh
membagi alam ini menjadi dua, yakni alam wujud dan alam abstrak. Alam
wujud adalah alam dimana kita tinggal sekarang ini dan alam abstrak
adalah alam akhirat yang akan kita tempati setelah meninggal nanti.
Teologi menurut pandangan Muhammad Abduh dapat digambarkan sebagai Tuhan
berada di puncak alam wujud dan manusia ada di dasarnya. Manusia yang
berada di dasar ini berusaha mengetahui Tuhannya dan Tuhan menurunkan
wahyu karena kasihan melihat kelemahan manusia dibandingkan
kemahakuasaan-Nya. Manusia yang dimaksud oleh Muhammad Abduh di sini
adalah kamu Khawas yakni orang-orang yang terpilih dari golongan awam. Hal ini dikarenakan kemampuan akal yang dimiliki orang Khawas yang mampu mencapai Tuhan serta alam ghaib yang berada pada puncak tertinggi dari alam wujud.
Untuk mencapai pengetahuan
tertinggi ini bisa melalui 2 cara, akal dan wahyu. Akal bagi Muhammad
Abduh adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar dari kelangsungan
hidupnya karena ialah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Karena itu, beliau selalu berbicara tentang pentingnya akal dan
pentingnya manusia mengembangkan akalnya untuk mencapai tingkat
kehidupan yang lebih tinggi. Begitu pun dalam masalah teologi. Ia tidak
pernah meninggalkan akal sebagai dasar dari teologi.
Muhammad Abduh
berpendapat bahwa Islam adalah agama yang rasional, agama yang sejalan
dengan akal, bahkan didasarkan pada akal. Beliau sangat menekankan
pentingnya memahami ayat dengan menggunakan akal. Menurutnya, pemikiran
rasional adalah jalan untuk mendapatkan keimanan yang sejati. Keimanan
bukan didasarkan pada pendapat semata, namun harus berdasar pada
pemahaman. Akal yang dapat membawa manusia memahami apa yang sebenarnya
disampaikan oleh Tuhan melalui agama dan wahyu. Agama memang membawa
sesuatu yang berada diluar kemampuan manusia untuk memahaminya, namun,
agama tidak mungkin membawa sesuatu yang mustahil dipahami oleh akal
manusia. Jika memang agama mambawa sesuatu yang secara lahiriah terlihat
bertentangan dengan nalar, akal harus meyakini bahwa yang dimaksud
bukan arti harfiah melainkan ada maksud lain yang dibawa.
‘Abduh
selalu menekankan dan memperhatikan realitas manusia, dan bagaimana
memperbaikinya, ketimbang memperhatikan filsafat abstrak atau bahkan
argumentasi teologis. Dia tak seperti teologi Asy’ariah, mengatakan
bahwa manusia dengan menggunakan akalnya dapat mengetahui dan memilih
mana yang benar dan mana yang salah. Dalam dua karya besarnya, Risalah At-Tauhid dan Al-Islam Wannshraniyah ma’al’ilm Walmadaniyah, dia
mencoba menyelaraskan akal, wahyu dan temperamen moral individu, namun
pada akhirnya jelaslah akal yang ditentukan. Jika terjadi perselisihan
antara akal dan apa yang diriwayatkan hadis, maka akallah yang harus
didahulukan. Hadis diinterpretasikan kembali, agar sesuai dengan yang
rasional, atau mengakui kebenarannya, seraya mengakui ketidakmampuan
manusia untuk mengetahui maksud Allah. Akibat terus menerus menekankan
penggunaan akal, ‘Abduh dituduh sebagai seorang noe-Mu’tazilah oleh
faqih konservatif. Karena dia mencoba mengakui kekuatan akal dan pilihan
bebas manusia dan takdir Allah dengan mengatakan bahwa ada hal-hal yang
hanya Allah sajalah yang tahu.
Salah satu isu
paling penting yang menjadi perhatian ‘Abduh sepanjang hayat dan
karirnya adalah pembaruan pendidikan. Program yang diajukannya sebagai
salah satu fondasi utama adalah memahami dan menggunakan Islam dengan
benar untuk mewujudkan kebangkitan masyarakat. Dia mengkritik sekolah
modern yang didirikan oleh misionaris asing, dan juga mengkritik sekolah
modern yang didirikan oleh pemerintah. Di sekolah misionaris, siswa
dipaksa mempelajari Kristen, sedangkan di sekolah pemerintah, sisiwa
tidak diajar agama sama sekali.
‘Abduh
memperjuangkan sistem pendidikan fungsional yang bukan impor, yang
mencakup pendidikan universal bagi semua anak. Semuanya harus punya
keterampilan membaca, menulis dan berhitung. Semuanya harus mendapat
pendidikan agama. Isi dan lama pendidikan haruslah beragam, sesuai
dengan tujuan dan profesi yang dikehendaki pelajar.
Muhammad Abduh membagi pendidikan menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat dasar (mubtadi’in), tingkat menengah (taqabat Al Wustha), dan tingkat tinggi (taqabat Al Ulya).
Pembagian pendidikan ini berdasarkan tujuan dan tempat bekerja para
pelajar. Pengklasifikasian ini juga didasarkan pada tingkat ketinggian
akal seseorang. Hal ini dikarenakan dalam pemikiran teologi Muhammad
Abduh yang sudah saya disampaikan sebelumnya, manusia tidak lagi
digolongkan sesuai dengan ketakwaannya, melainkan tingkat akal mereka.
Untuk tingkat dasar, pendidikan
ditujukan kepada orang-orang yang nantinya akan mengabdikan dirinya
untuk menjadi tukang, pedagang, petani, dan pekerjaan lain yang setara
dengan mereka. Kurikulum yang akan diterapkan di
sini pun adalah yang paling ringan. Tingkat pertama bertujuan untuk
memerangi buta huruf, maka di sini lebih ditekankan ilmu membaca,
menulis, dan berhitung. Namun, tidak hanya itu. Di sini juga diajarkan
mata pelajaran lain, yakni Akidah Islam, Fiqh dan Akhlak, dan Sejarah.
Tingkat Menengah ditujukan bagi
orang-orang yang nantinya akan menjadi pegawai pemerintah baik sipil
atau militer. Bermula pada keprihatinannya terhadap pegawai-pegawai
pemerintah pada masa itu yang hanya memikirkan dirinya tanpa peduli
dengan rakyatnya, Muhammad Abduh memberikan pendidikan yang bisa membuat
mereka menjadi orang-orang yang bertanggung jawawab nantinya. Dalam
tingkat ini, Akidah Islam, Fiqh dan Akhlak, dan Sejarah yang juga telah
diajarkan dalam tingkat dasar lebih diperluas lagi bahasannya. Selain
itu, di sini juga dbeliaujarkan Ilmu logika (fann al-mantiq),
dasar-dasar penalaran (usul an-nazari) dan ilmu debat atau diskusi (adab
al-jadal).
Pendidikan tinggi ditujukan untuk
mereka yang akan menjadi guru dan pemimpin-pemimpin yang berkualitas.
Kurikulum yang diajarkan di sini adalah al-Qur’an al-Karim, Hadits,
Bahasa Arab, Ushul Fiqh, Pelajaran Akhlak, Sejarah Islam, Retorika dan
Dasar-dasar Diskusi, dan Ilmu Kalam. Bagi
Muhammad Abduh peran guru sangatlah penting dalam mempengaruhi
pendidikan yang akan membentuk bangsa. Oleh karena itu, beliau
menempatkan guru dalam tingkatan yang tinggi setara dengan para pemimpin
dan penguasa negara. Beliau memilih Tafsir Al-Qur’an
untuk diajarkan di sini karena menurutnya Al-Qur’an menyimpan rahasia
kesuksesan umat terdahulu. Untuk itu, para peserta didik haruslah
mempelajari hal ini.
Selain kurikulum, Muhammad Abduh
juga mengungkapkan adanya pihak-pihak yang sangat menentukan
keberhasilan pendidikan seseorang. Yang pertama, kepala sekolah.
Menurutnya, kepala sekolah haruslah orang yang memiliki kapasitas
pendidikan serta kepemimpinan yang memadai dan berkualitas. Yang kedua
adalah guru. Seperti yang telah disebutkan, baginya guru adalah komponen
terpenting adalam pembentukan siswa saat menjalani pendidikan.
Bagaimana jenis siswa yang dihasilkan tergantung dengan bagaimana guru
tersebut mengajar. Oleh karena itu, guru haruslah orang-orang yang
memilki kapasitas untuk mengajar. Muhammad Abduh juga tidak melupakan
unsur lain seperti orang tua murid, masyarakat dan pemerintah. Tanpa
bekerjasama dengan mereka, suatu pendidikan tidak akan berhasil.
Yang paling menjadi fokus Muhammad Abduh pada waktu itu adalah bagaimana menghapuskan adanya dualisme pendidikan
yang telah ada. Sehingga, tidak ada lagi pemisahan antara pemerintah
dan ilmu pengetahuannya dan Islam dengan syari’atnya. Semuanya bisa
berjalan secara seragam dan harmonis. Pemerintah pun paham tentang islam
dan bisa menerapkannya dalam cara mereka memerintah dan Ulama’ pun
melek pengetahuan dan tidak tertinggal dari peradaban dunia.
Dengan membawa pemikirannya yang
berisi tentang sistem pendidikan baru untuk Mesir yang telah dibuatnya,
Muhammad Abduh berusaha mendobrak tembok sistem pendidikan tradisional
Mesir yang telah dibangun sejak Muhammad Ali berkuasa. Seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya, beliau ingin agar ilmu-ilmu umum juga
diajarkan dalam madrasah dan ilmu agama juga diajarkan dalam sekolah
pemerintah. Namun, ternyata kenyataan tidak berpihak pada Muhammad
Abduh. Pemikiran yang beliau bawa ditolak oleh para ulama’ karena
dikhawatirkan cenderung kepada Barat. Pemikirannya yang memang cenderung
ke arah pembaharuan dan modernisasi dianggap bergerak menuju pendidikan
sekuler, sehingga tidak dapat diterima oleh mereka. Mereka tidak ingin
ilmu-ilmu umum seperti logika masuk kepada siswa-siswanya dan merusak
akhlaknya.
Beliau juga mendapatkan tentangan
dari pemerintah yang berkuasa pada masa itu, karena kurikulum agama yang
ingin beliau ajarkan di sekolah pemerintah membuat mereka tidak lagi
leluasa dalam berbuat maksiat. Misalnya saja tentang wakaf. Pemerintah
tidak setuju dengan adanya konsep untuk mendirikan institusi wakaf yang
diusung oleh Muhammad Abduh. Alasannya tentunya hanya ada satu. Jika institusi wakaf ini didirikan maka uang yang akan masuk kantong mereka berkurang.
Sikap penolakan ini sesungguhnya
merupakan hasil dari statisnya sikap masyarakat Mesir pada masa itu yang
masih terjerat dalam pola pikir tradisional. Namun, hal ini bisa juga
merupakan hasil dari traumatis masyarakat mengingat banyaknya negara
sekitarnya yang akhirnya dipimpin secara sekuler setelah dimasuki
pemikiran Barat.
Dalam keadaan yang sangat
mengecewakan tersebut, akhirnya Muhammad Abduh jatuh sakit dan meninggal
dunia. Alhasil, pemikiran tentang sistem pendidikan yang dibawanya
belum dan tidak pernah sempat diterapkan dalam pendidikan formal Mesir.
Namun, lebih dari itu, ternyata Muhammad Abduh telah memberikan
pengajaran bagi siswa-siswa yang sangat tepat. Penerusnya, seperti
Rasyid Ridla dan Hasan Al-Banna adalah potret dari produk sistem
pendidikan yang dibuat oleh Muhammad Abduh. Mereka yang akhirnya menjadi
tokoh besar di Mesir dan dunia yang sesungguhnya menjadi bukti
bagaimana hasil dari sistem pendidikan Muhammad Abduh.
Dalam buku Mohammedanism; An Historical Survey: a
man of great breadth, independence, and nobility mind. As a young
teacher in Al-Azhar, he had tried to introduce a broader and more
philosophical conception of religious education, and in later exile he
had collaborated with Jamaluddin Al-Afghani in a semi religious, semi
political journal called al-urwatul Wutsqa. He was a modernist in the
sense that he urged the persuit of modern thought, confident that in the
last resort it could not undermine but only confirm the religious truth
of Islam. (Sebuah Survei Sejarah: seorang luas besar –pengetahuan-, kemandirian, dan pikiran bangsawan. Sebagai seorang guru muda di Al-Azhar, ia mencoba untuk memperkenalkan konsepsi yang lebih luas dan lebih filosofis pendidikan agama, dan di pengasingan kemudian ia telah bekerja sama dengan Jamaluddin Al-Afghani dalam jurnal agama, politik yang disebut al-urwatul Wutsqa. Dia adalah seorang modernis dalam arti bahwa ia mendesak pengejaran pemikiran modern, yakin bahwa di resor terakhir tidak dapat merusak tetapi hanya mengkonfirmasi kebenaran agama Islam).
Penting bagi kita
untuk memahami betapa lebarnya kesenjangan antara pendidikan agama dan
pendidikan sekuler di Mesir ini berikut konsekuensi-konsekuensi yang
sangat jauh jangkauannya. Hal ini tidak hanya menempatkan suatu sekolah
dalam posisi berlawanan dengan sekolah lainnya dan juga suatu
universitas lainnya, tetapi juga lebih daripada faktor manapun,
mendorong timbulnya perpecahan di kalangan ummat Muslim, yang terutama
tampak di kota-kota besar, yang menempatkan kelompok ortodoks dalam
posisi berlawanan dengan kelompok yang diibaratkan dalam hampir kegiatan
sosial maupun intelektual, dalam cara berpakaian, sikap hidup,
kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat, hiburan, sastra dan bahkan
dalampercakapan mereka. Kenyataan tentang adanya kesenjangan dan
perlunya diakhiri kesenjangan inilah yang mendorong timbulnya modernisme
Islam itu.
Dari pembahasan
mengenai “Teologi Rasionalisme serta Pengaruhnya terhadap Modernisasi
Pendidikan Mesir yang dibawa oleh Muhammad Abduh” dapat kita simpulkan
bahwa Muhammad Abduh adalah seseorang yang memang tepat jika dijuluki
sebagai tokoh pembaharu Mesir. Beliau berani mendobrak sistem
tradisional yang pada waktu itu sudah kuat mengakar dalam masyarakat
Mesir. Lebih dari itu, beliau berhasil memberikan warna baru dalam dunia
pemikiran dan pendidikan di Mesir yang pada masa itu masih sangat
tradisional dengan menerapkan metode diskusi dalam proses
pembelajarannya dan memperkenalkan pentingnya akal serta pemahaman dari
setiap apa yang dipelajari. Beliau memang tidak pernah menelurkan buku
tentang pemikiran rasionalisme, namun, beliau adalah rasionalis sejati.
Sosok intelektual satu ini
bernama lengkap Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin
Bahauddin Al-Qalmuni Al-Husaini. Namun, dunia Islam lebih mengenalnya
dengan nama Muhammad Rasyid Ridha. Ia lahir di daerah Qalamun (sebuah
desa yang tidak jauh dari Kota Tripoli,Lebanon)pada 27Jumadil Awal 1282 H
bertepatan dengan tahun 1865 M.
Muhammad Rasyid Ridha
dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga terhormat dan taat
beragama. Dalam sebuah sumber dikatakan bahwa Rasyid Ridha masih
memiliki pertalian darah dengan Husin bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi
Muhammad SAW.
Rasyid Ridha adalah seorang intelektual muslim dari Suriah yang mengembangkan gagasan modernisme Islam yang awalnya digagas oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.
Ridha mempelajari kelemahan-kelemahan masyarakat muslim saat itu,
dibandingkan masyarakat kolonialis Barat, dan menyimpulkan bahwa
kelemahan tersebut antara lain kecenderungan umat untuk mengikuti
tradisi secara buta (taqlid), minat yang berlebihan terhadap dunia sufi
dan kemandegan pemikiran ulama yang mengakibatkan timbulnya kegagalan
dalam mencapai kemajuan di bidang sains dan teknologi. Ia berpendapat
bahwa kelemahan ini dapat diatasi dengan kembali ke prinsip-prinsip
dasar Islam dan melakukan ijtihad dalam menghadapi realita modern.
Selain menekuni pelajaran di
sekolah tempat ia menimba ilmu, Rasyid Ridha juga rajin mengikuti
beberapa perkembangan dunia Islam melalui surat kabar Al-Urwah Al-Wusqo
(sebuah surat kabar berbahasa Arab yang dikelola oleh Jamaluddin
Al-Afghani dan Muhammad Abduh, dan diterbitkan selama masa pengasingan
mereka di Paris). Melalui surat kabar ini, Rasyid Ridha mengenal gagasan
dua tokoh pembaru yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani,
seorang pemimpin pembaru dari Afghanistan, dan Muhammad Abduh, seorang
pembaru dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu begitu
berkesan dalam dirinya dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung
dan berguru pada kedua tokoh itu. Keinginan untuk bertemu dengan
Al-Afghani ternyata belum tercapai, karena tokoh ini lebih dahulu
meninggal dunia. Namun, ketika Muhammad Abduh ke Beirut, Rasyid Ridha
berkesempatan berdialog serta saling bertukar ide dengan Abduh.
Pertemuan dan dialog dengan Muhammad Abduh semakin menumbuhkan semangat
juang dalam dirinya untuk melepaskan umat Islam dari belenggu
keterbelakangan dan kebodohannya. Rasyid ridha meyakini kebenaran
gerakan Salafiyah yang dipelopori oleh Afghani dan Abduh, dan menariknya sedikit demi sedikit dari ajaran tasawuf tradisional.
Salafiyah adalah
suatu aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan
kejayaan umat islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni
seperti yang dulu diamalkan oleh generassi Islam yang pertama, yang
biasa juga disebut salaf (pendahulu) yang saleh.
Di Lebanon, Rasyid Ridha
mencoba menerapkan ide-ide pembaruan yang diperolehnya. Namun, upayanya
ini mendapat tentangan dan tekanan politik dari Kerajaan Turki Usmani
yang tidak menerima ide-ide pembaharuan yang dilontarkannya. Akibat
semakin besarnya tentangan itu, akhirnya pada 1898, Rasyid Ridha pindah
ke Mesir mengikuti gurunya, Muhammad Abduh, yang telah lama tinggal di
sana.
Al-Manar adalah
majalah mingguan yang diasuh oleh Ridha dan abduh. Antara lain,
menyebarkan ide-ide pembaharuan dalam bidang agama, sosial, dan ekonomi,
memajukan umat Islam dan menjernihkan ajaran Islam dari segala paham
yang menyimpang, serta membangkitkan semangat persatuan umat Islam dalam
menghadapi berbagai intervensi dari luar. Dalam perjalanannya majalah
ini banyak mendapat sambutan, karena ide-ide pembaharuan yang
dilontarkan dalam setiap tulisannya.
Setelah menerbitkan majalah
Al-Manar, Rasyid Ridha juga masih sangat aktif menulis dan mengarang
berbagai buku dan kitab. Dia sempat mengajukan saran kepada gurunya agar
menafsirkan kitab suci Alquran dengan penafsiran yang relevan dengan
perkembangan zaman. Melalui kuliah tafsir yang rutin dilakukan di
Universitas Al-Azhar, Rasyid Ridha selalu mencatat ide-ide pembaharuan
yang muncul dalam kuliah yang diberikan Muhammad Abduh. Selanjutnya,
catatan-catatan itu disusun secara sistematis dan diserahkan kepada sang
guru untuk diperiksa kembali. Selesai diperiksa dan mendapat
pengesahan, barulah tulisan itu diterbitkan dalam majalah Al-Manar.
Kumpulan tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam majalah Al-Manar
inilah yang kemudian dibukukan menjadi tafsir Al-Manar. Pengajaran
tafsir yang dilakukan Muhammad Abduh ini hanya sampai pada surah An-Nisa
ayat 125, dan merupakan jilid ketiga dari seluruh Tafsir Al-Manar. Hal
ini dikarenakan Muhammad Abduh telah dipanggil kehadirat Allah SWT pada
1905, sebelum menyelesaikan penafsiran seluruh isi Alquran. Maka, untuk
melengkapi tafsir tersebut, Rasyid Ridha melanjutkan kajian tafsir sang
guru hingga selesai.
Karya-karya yang dihasilkan
semasa hidup Rasyid Ridha pun cukup banyak. Antara lain, Tarikh
Al-Ustadz Al-Imama Asy-Syaikh Abduh (Sejarah Hidup Imam Syaikh Muhammad
Abduh), Nida Li Al-Jins Al-Latif (Panggilan terhadap Kaum Wanita),
Al-Wahyu Muhammad (Wahyu Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW),
Yusr Al-Islam wa Usul At-Tasyri Al-Am (Kemudahan Agama Islam dan
dasar-dasar umum penetapan hukum Islam), Al-Khilafah wa Al-Imamah
Al-Uzma (Kekhalifahan dan Imam-imam besar), Muhawarah Al-Muslih wa
Al-Muqallid (dialog antara kaum pembaharu dan konservatif), Zikra
Al-Maulid An-Nabawiy (Peringatan Kelahiran Nabi Muhammad saw),dan haquq
al-mar’ah as-shalihah (hak-hak wanita muslimah).
Sultan-sultan Kerajaan ‘Utsmani pun mengirim duta-duta ke Eropa untuk
mengetahui rahasia kekuatan raja-raja Eropa yang pada abad-abad
sebelumnya masih berada dalam keadaan yang mundur. Atas dasar laporan
dari para duta itu, mulailah diadakan pembaharuan di Kerajaan ‘Utsmani,
terutama mulai dari abad ke-19. Harun Nasution, Islam Rasional,
(Bandung: Mizan, 1998), Cet. VII, h. 147.
Di Kairo ia mendirikan lembaga ilmiah institut d’Egypte
yang mempunyai empat bagian: ilmu pasti, ilmu alam, ilmu ekonmi politik
dan sastra seni. Perpustakaan dari lembaga ini besar sekali dan bukan
hanya berisi buku-buku dalam bahasa Eropa, tetapi juga buku-buku ilmiah
dalam bahasa Arab, Persia dan Turki. Lembaga ini melakukan penelitian
ilmiah di Mesir dan hasilnya diterbitkan dalam majalah La Decade Egyptienne.
Napoleon juga membawa percetakan yang disamping berhuruf latin, juga
berhuruf Arab. Ia juga membawa serta ahli-ahli ketimuran yang mahir
berbahasa Arab. Harun Nasution, Ibid., h. 148.
Di
sinilah bertemunya ulama-ulama abad ke-19 dengan ilmuan-ilmuan Barat
modern yang menyadarkan mereka bahwa dalam bidang pemikiran dan bidang
ilmiah, ulama Islam sudah jauh tertinggal. Persentuhan antara Barat
dengan Islam di Mesir ini, hanya melahirkan sedikit ulama Islam pada
saat itu yang berpendapat bahwa pemikiran dan ilmu yang berkembang di
Barat itu perlu dipelajari dan diambil alih. Harun Nasotiun, Ibid., h. 148.
H. Sahrah, antologi tesis: Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh Sebagai Strategi Modernisasi, 3 http://www.google.co.id/search?q=H.+Sahrah%2C+antologi+tesis%3A+Pemikiran
+Pendidikan+Muhammad+Abduh+Sebagai+Strategi+Modernisasi%2C+&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a
No comments:
Post a Comment