CADAS NANGTUNG, Pasanggrahan, SUMEDANG Larang Situs BCB-kah atau Sekedar Hasil Proses Geologi Semata ?

1. Kearifan Lokal
Pepatah mengatakan “Lain Lubuk Lain Ikannya, Lain Padang Lain Pula Belalangnya”, adalah ungkapan peribahasa yang menunjukkan betapa tajamnya nenek moyang kita di dalam
mengungkapkan masalah anekaragam data istiadat masing-masing daerah pada berbagai wilayah di (Kepulauan) Nusantara ini. Secara sadar ataupun nirsadar sebenarnya ungkapan itu merupakan suatu cerminan tindakan sangat hati-hati bila kita mendatangi atau menilai daerah (baca:etnis) lain di lingkungan masyarakat dan kebudayaan yang bersifat ‘multi etnis’; yang menampilkan cara yang berbeda–beda pula, baik di dalam proses pembentukan maupun pembekuan unsur-unsur tradisionalnya.
Berbicara fenomena warisan aktivitas kebudayaan di Tatar Sunda (BCB), secara langsung berhadapan kepada berbagai permasalahan epistemologis yang fundamental. Apakah kita, bertolak dari keyakinan bahwa gagasan teoritis dalam pengetahuan Ilmu Sosial Budaya universal, seperti Ilmu Pengetahuan Alam, atau terikat kepada kebudayaan dimana gagasan itu dicanangkan? Ataukah harus diteruskan dengan pertanyaan “Apakah kebudayaan suatu masyarakat/ individu/ kelompok sosial merupakan suatu sistem yang dihayati warganya sehingga pemahaman tentang lingkungan sosial dan biofisika harus dianggap seragam?” Ataukah pula masing-masing warga memiliki pemahaman sendiri-sendiri yang tidak perlu dan belum tentu sama dari satu warga ke warga yang lain ? Layaknya pepatah kuna yang mengatakan “ciri sabumi cara sadesa” menyiratkan pengertian amat dalam bahwa setiap masyarakat pendukung budaya di Nusantara mengembangkan kelengkapan ‘supra-organik’ atau perlatan ‘non-ragawi’ yang merupakan perwujudan seluruh tanggapan aktifnya terhadap lingkungan hidupnya. Variasi lingkungan hidup di berbagai wilayah tersebut menimbulkan aneka-ragam cara memahami, memperkirakan dan menilai lingkungan serta menentukan nilai dan gagasan vital yang menjadi pedoman pola tingkah laku anggota masyarakat.
  1. Dalam rangka IDENTIFIKASI SITUS sekalipun, ‘ntah dimengerti oleh atau secara umum atau ke dalam ujudnya yang lebih formal (akademis), harus dipandang dan diselaraskan sesuai latar kebudayaan tipa-tiap alam lingkungan kebudayaan dan kerangka waktu pendukung budayanya. Sebagaimana umumnya masyarakat Nusantara, masyarakat Tatar Sunda sejak sebelum masa Tarumanagara hingga hadirnya inovasi, akrab dan mandiri dengan ciri budaya berladang dan perangkat kepercayaannya. Ciri khas budaya berladang adalah orientasi kuat terhadap lingkungan alam dan segala kandungannya (kesuburan), serta iklim. Karena masyarakat dengan budaya berladang memenuhi hidupnya secara langsung terlibat dengan memnafaatkan lingkungan alam, sehingga berusaha mendekatkan diri kepada lingkungan selaras Konsep (pikukuh) pemeliharaan bumi dengan segala isinya hakekatya simbolisasi hubungan dirinya dan PenciptaNYA.
2. Gunung (Pasir Reungit)- Cadas Nangtung Pasanggrahan
Gunung/Pasir Reungit-Cadas Nangtung Pasanggrahan secara geografis (GPS) pada koordinat 06° 51’ 43”-51°43” Lintang Selatan (LS) dan 107° 53’59,9” Bujur Timur (BT) ketinggian dari permukaan laut (dpl) 525 m. Terletak di Kampung Seulareuma (dahulu Salareuma) menempati lahan tertinggi dari sekitarnya diapit dua kampung lainnya yang mengisi dataran lebih rendah yaitu Kampung Lebak Huni (sebelah barat) dan Kampung Legok Bungur (sebelah timur). Lokasi yang dirujuk berupa suatu bukit yang oleh penduduk bersangkutan disebut Pasir (Sunda: Pasir=gunung kecil) di lingkungan pegunungan Perbukitan Sumedang Selatan yang terdiri dari Gunung/Pasir Nangtung, Gunung/Pasir Konci, Pasir Peti, Gunung/Pasir Ciguling, Gunung/Pasir Palasari dan Gunung Palasari. Di lingkungan perbukitan tersebut hingga kini terdapat Makam Kuno Karamat Eyang Jagabhaya di Gunung/Pasir Nangtung dan Batukorsi (Stonesit ) Gunung/Pasir Ciguling.
Gunung /Pasir Reungit-Cadas Nangtung Pasanggrahan merupakan salah satu bukit (Sunda: Pasir = gunung leutik) di lingkungan Sumedang Selatan yang kini dalam kondisi digali khususnya lereng dan dinding bukit bagian selatan (menghadap ke jalan raya Sumedang – Bandung). Penggalian itu berkaitan dengan usaha penambangan sumberdaya bahan bangunan rumah dan alat-alat sehari-hari diprakarsai oleh Perusahaan Bangunan CV.Stone-House. Sekitar 50% lahan bukit bagian selatan nampak terbuka oleh hasil pengupasan sengaja oleh pihak perusahaan bersangkutan, dan memperlihatkan sejumlah besar bongkahan batu dengan bentuk khas berupa sejumlah besar tonggak dengan ukuran yang spektakuler.
Dari catatan ringkas tentang Gunung /Pasir Reungit-Cadas Nangtung Pasanggrahan diberikan seorang bernama Rohman (Bojongmenje-Cangkuang, Rancaekek, Bandung) yang berkunjung pada 17 Oktober 2002. Atas dasar yang dilihatnya dengan dilengkapi keterangan wawancara dengan sesepuh penduduk setempat bernama Aki Jenar (87 tahun). Selain bongkah batu tonggak di Gunung/Pasir Reungit-Cadas Nangtung Pasanggrahan ditemukan terowongan dari Cipeles yang menembus hingga ke Pasir Reungit, di dalam terowongan ada teras-teras undakan menuju ke atas bukit, dan berfungsi sebagai pintu gerbang.
Disebutkan oleh Aki Jenar kepada Rochman bahwa pada tiap-tiap bulan (Islam) Maulud dan bulan Rajab khususnya di malam Jum’at di puncak Gunung/Pasir Reungit kerap muncul cahaya berkilauan seperti cahaya lampu neon. Maka Rochman menambahkan pada bagian akhir catatannya bahwa Gunung/Pasir Reungit adalah “situs”: 1) ada keajaiban berupa cahaya pada lahan tertinggi Gunung /Pasir Reungit-Cadas Nangtung Pasanggrahan; 2) ada lubang berupa terowongan dari Sungai Cipeles hingga tembus ke lokasi tumpukan batu-batu yang berbentuk “persegi” adalah buatan manusia.
Keterangan sama diperoleh dari penduduk bernama Sukandar (43 tahun), ketika ayahnya masih hidup (Juned bin Juned meninggal usia 74 tahun) menceritakan Gunung/Pasir Reungit-Cadas Nangtung Pasanggrahan semula leuweung geledegan – hutan rimba mulai digali dan mengandung batu-batu tonggak,dan ketika tahun 1954 membuka lahan ini untuk pertanian. Pada bagian selatan lahan kawasan Gunung/Pasir Reungit-Cadas Nangtung Pasanggrahan terpotong jalan raya Sumedang-Bandung terdapat irigasi (sungai) Cipeles guna mengairi lahan permukiman dan persawahan penduduk Kampung Seulareuma. Diantara irigasi menuju lahan Pasir Reungit terdapat terowongan tanah yang menembus hingga ke bagian dalam Gunung/Pasir Reungit-Cadas Nangtung Pasanggrahan.
Kondisi yang telah ditampakkan CV Stone-House Gunung/Pasir Reungit mengandung sumberdaya alam berupa batu-batu tonggak dalam jumlah besar; yang ketika digali posisinya demikian tersusun rapi, jenis batuan andesit yang keras dan kokoh, dan berwarna hitam. Maka permasalahan yang hadir ’apakah Gunung/Pasir Reungit-Cadas Nangtung Pasanggrahan ini hasil karya manusia (artefak) atau hadir semata karena gejala alam?” Permasalahan yang masih menanti jawaban adalah identifikasi Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan dengan seluruh kandungan sumberdayanya yang mencurigakan itu, ‘apakah ada kaitan dengan warisan aktivitas budaya yang disebut “SITUS” atau harus dipandang sebagai gejala alam hasil proses geologis semata?
Penggalian CV.Stone House di Gunung/Pasir Reungit dengan kandungan sumberdaya alam berupa bongkah-bongkah batu andesit berbentuk tonggak dengan ukuran besar dan kokoh telah ditampakkan tersebut sekitar 50 %. Beberapa diantara batu-batu yang digali ‘bergeletak’ di halaman ‘yang mengaku pemilik lahan’ yakni Ade Rahmawati (30 tahun), satu-satunya bangunan rumah yang berada di lereng Pasir Reungit; sebagian besar lainnya lagi masih berada pada tempatnya (intax sesuai matrixnya). Sejumlah besar batu yang telah ditemukan sebelum dijadikan tambang bangunan dipergunakan penduduk setempat selain dijadikan bahan bangunan rumah mereka, juga untuk menyanggah tebing sungai (Cipeles). Pemanfaatan batu-batu tonggak baik oleh perusahaan maupun masyarakat setempat karena jenis batunya sangat baik dengan kapasitas kekerasan tinggi-tidak mudah retak meskipun dibanting dan dijatuhkan dengan keras. Ukuran spektakuler dengan bobot yang berat ini menyebabkan si pemilik Perusahaan menggunakan mesin berat dan besar yaitu Buldozer yang hingga kini terparkir di halaman rumahnya.
Ketika diamati seksama, batu-batu tonggak memiliki bentuk hampir serupa namun dengan ukuran tinggi dan diameter berbeda-beda. Batu-batu tonggak yang masih terletak utuh pada tempatnya, berposisi “seakan-akan’ sengaja disusun berbaris dan menyandar pada dinding (lereng) Gunung/Pasir Reungit dengan tatanan yang cenderung miring 60° ke arah timur. Dari pengamatan Batu Tonggak yang telah dipindahkan dan berada di halaman rumah penduduk, ujung badan bagian bawah (yang menempel ke tanah) bentuknya rata “seperti usai dipangkas” sedangkan ujung badan bagian batu tonggak yang menghadap atas bentuknya “kerucut semu” seperti sengaja dipangkas kasar. Ukuran panjang batu-batu tonggak berkisar antara 7 – 8 m; sedangkan diameternya antara 60-70 cm.
Pada bagian lereng Gunung /Pasir Reungit-Cadas Nangtung Pasanggrahan terhampar kerakal andesit sebagian masih tersusun rapih seperti lantai dan sebagian lagi terserak bercampur kerikil (kericak). Dibalik dinding susunan batu tonggak ditemukan tatanan batu lainnya seperti “susunan kue lapis” yang mengisi bagian dalam Gunung /Pasir Reungit-Cadas Nangtung Pasanggrahan. Lahan paling atas tatanan batu tertutup tanah dengan partikel padat sekitar 50 cm dari batas tatanan batu, diikuti hamparan pasir pada bagian permukaan. Bagian selatan kawasan Gunung /Pasir Reungit-Cadas Nangtung Pasanggrahan kurang lebih 1-1.5 km mengalir sungai besar disebut Cipeles, aliran sungai tersebut mengalir arah timur-barat dan bermuara di Cimanuk. Diantara dinding ruas jalan (Sumedang – Bandung) dan sungai Cipeles terdapat sungai irigasi yang sekaligus menjadi batas lahan Gunung /Pasir Reungit-Cadas Nangtung Pasanggrahan. Pada lahan ini ditemukan lubang terowongan (diameter terowongan 80-100 cm), kendati besaran ukurannya cukup untuk dimasuki manusia, namun keadaannya kini telah terisi tanah dan bahkan kerap berisi air dan dihuni binatang (sero) sehingga sulit untuk diamati. Hasil dari pengamatan Gunung /Pasir Reungit-Cadas Nangtung Pasanggrahan menunjukkan :
lahan terbuka yang intax lekat pada matrixnya, dan yang tidak mungkin dipindah-tempatkan atau diubah oleh manusia. Mengandung sumberdaya alam sangat potensial berupa batu andesit dari bahan yang sangat keras, juga dari berbagai bentuk diantaranya bentuk tonggak dalam jumlah yang sangat banyak memenuhi bukitnya; kerakal dan kerikil juga dengan jumlah yang banyak; kandungan pasir dan tanah Gunung/Pasir Reungit terletak di lingkungan pegunungan atau perbukitan yang masih termasuk ke dalam jajaran pegunungan Dataran Tinggi Parahiyangan Didekatnya mengalir sungai besar Cipeles yang bermuara di Cimanuk
Sementara disebutkan Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan tiada lebih lingkungan dengan kandungan batuan, tanah, air dan tetumbuhan sebagai sumberdaya aalm yang dibutuhkan oleh manusia demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Sumberdaya alam yang bukan merupakan ciptaan atau dibuat oleh manusia, namun berkenaan dengan upaya dan usaha kehidupan berkebudayaan, manusia sebagai makhluk historis manusia memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Untuk tinggal di dalam suatu lingkungan dengan seluruh kandungan sumberdaya tersebut, sebagaimana adanya sekarang. Pertanyaannya, bagaimana situasi dan kondisi pemanfaatan lahan Gunung/Pasir Reungit dan keberadaanya, dalam pengertian Gunung/Pasir Reungit di dalam tatanan ruang budaya Sumedang Larang sejak awal keberaannya hingga sekarang? Karena manusia dalam upaya memanfaatkan lingkungan yang pada dasarnya selalu mempertimbangkan pemilihan lahan atau lokasi dari manusia menempatkan dirinya dalam suatu lingkungan fisik. Pertimbangan yang ini mencerminkan bahwa dalam batas-batas tertentu masyarakat mengikuti aturan umum yang berlaku (normative), sehingga tidak berperilaku acak dalam memilih suatu lahan atau lokasi pemukiman, melainkan berpola, maka pemolaan aktivitas manusia tercermin pada keruangannya, waktu dengan ciri dan karakter budaya dalam suatu lingkungan tertentu.
Apakah yang disebut SITUS, Bagaimana Kaitannya dengan Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan ?
Seorang pakar Arkeologi bernama Prof. Dr. Moendardjito di dalam salah satu artikelnya berjudul “Perencanaan Tata Ruang Situs Arkeologi” salah satu makalah di dalam Laporan Pelaksanaan Workshop Pelestarian Dan Pengembangan Kawasan Percandian Situs Batujaya, Kabupaten Karawang” (Cikampek, 15-19 April 2002), Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalan Jawa Barat, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Mengemukakan secara rinci tentang apa dan bagaimana ketentuan suatu SITUS kedalam pengertian Arkeologi bahwa nama Situs di Indonesia umumnya diberikan menurut nama lokasi administratifnya, meskipun tidak konsisten. Kadangkala menurut nama kampung, atau nama desa, kecamatan, dst. Bahkan seringkali menurut nama diberikan penduduk, lalu perlukah memberi nama secara sistematis seperti sekarang, atau memberi nama dengan cara lain, atau membebaskannya menurut keinginan masing-masing peneliti, perencana, atau penduduk. Tingkat pengetahuan mengenai isi situs bertambah ketika mendalaminya, sehingga nama seringkali jadi berubah. Misalnya bukit yang dinamakan penduduk ‘Unur Jiwa’ oleh peneliti disebut Situs Unur Jiwa, setelah dilakukan penggalian dan ditemukan candi, peneliti menyebutnya Situs Candi Jiwa. Mungkin ada peneliti yang menamakan situs Segaran-I karena berada di wilayah administratif Desa Segaran.
Ditinjau dari sudut pengelolaan secara administratif, mungkin menguntungkan; namun kerugiannya, jika desa itu berganti nama, akan menimbulkan permasalahan baru. Lebih lanjut dituturkan bahwa “Kata ‘situs’ di Indonesia menimbulkan kerancuan dalam pemakaiannya, karena tidak konsisten dengan prinsip taksonomi keruangan yang sifatnya hirarkial. Untuk kota kuna Trowulan, misalnya, dengan luas 9 x 11 km sementara peneliti menamakannya ‘situs’ dengan tambahan keterangan keistimewaannya sebagai situs sebesar kota, yaitu ‘situs kota’ (city-site, urban-site). Istilah ini memang tidak salah benar karena ada dalam kepustakaan arkeologi, semata disebabkan selama peneliti masih menganut definisi situs sebagai ‘sebidang lahan yang mengandung atau diduga mengandung tinggalan arkeologi’, namun tanpa merinci kompleksitasnya, keluasannya (apakah 1m² atau 1ha²), kepadatan penduduknya, dsb. Definisi itu tidak hanya dipakai arkeolog-peneliti, juga arkeolog-pelestari sebagaimana tersurat dalam Undang Undang tentang Benda Cagar Budaya Tahun 1992. Satuan ruang dinyatakan undang-undang hanya ‘situs’, bukan ‘kawasan’. Kini, sudah ada upaya memasukkan istilah, pengertian dan konsep ‘kawasan’ dalam wacana para arkeolog Indonesia, walau belum dalam perundang-undangan”
Moendardjito (2002:4) memperjelas bahwa pengertian ‘kawasan arkeologi’ secara sederhana diartikan ‘sebidang lahan yang relatif luas, yang mengandung sejumlah situs arkeologi yang letaknya berdekatan (spatial clustering sites). Misalnya seperti kawasan Batujaya dan Pakisjaya tidak hanya berdekatan dal hal keruangannya (space), juga memiliki kedekatan dalam hal bentuk (form), dan waktu (time). Situs-situs yang berada dalam ‘kawasan’ itu dapat mengandung warisan aktivitas budaya (baca: arkeologi) yang sejenis atu aneka jenis, semasa atau lintas masa, tunggal atau banyak (multicomponent sites), besar atau kecil. Di sekitar situs juga terdapat sejumlah warisan aktivitas arkeologi berupa bangunan dan fitur, artefak, ekofak dan lingkungannya. Menurutnya, di belahan dunia lain (Amerika) ‘Perencanaan Tata Ruang Situs Arkeologi’ dikatagorikan ke dalam empat satuan ruang berdasarkan kepada keluasan atau kompleksitasnya, yaitu:
satuan ruang ‘situs (site)’;
satuan ruang yang lebih luas dari situs yaitu ‘locality’;
satuan ruang yang lebih luas dari locality, yaitu ‘region’ dan
satuan ruang yang lebih luas dari region, yaitu ‘area’.
Namun Di Indonesia ‘region’ dan ‘area’ disepadankan dengan istilah ‘kawasan’ atau ‘wilayah’ yang dipakai secara bergantian (rancu) di dalam tulisan-tulisan berupa laporan atau makalah/artikel, namun ‘daerah’ dipakai sebagaimana adanya kini, dan ada juga istilah ‘mintakat’ untuk menyepadankan ‘zona’, maka ada:
‘Zona I’ atau ‘Zona Inti’ yang merujuk kepada ’sanctuary area’;
‘Zona II’ atau Zona Penyangga yang merujuk kepada’buffer area’;
‘Zona III’ atau ‘Zona Fasilitas’ yang merujuk kepada ‘facility area’ zona yang merupakan daerah sarana penunjang; di luar zona-zona atu mintakat-mintakat tersebut adapula
‘Zona IV’ atau ‘Zona Lansekap Sejarah’ yang merujuk kepada ’historical landscape’ tentunya dimaksudkan untuk mempertahankan lingkungan.
Mengacu kepada paradigma ‘situs atau lahan situs’ yang diajukan Moendardjito itu, dapat disebutkan Gunung/ Pasir Reungit-Cadas Nangtung Pasanggrahan terletak di dalam satuan lahan yang secara tegas disebut ‘situs’ dengan posisi ‘mengelilingi’ dengan pusat lahan Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan. Kedekatan antar ‘situs-situs’ tersebut tidak hanya ditunjukkan dalam keruangan (space) juga bentuk (form) dan waktu (time).
Skala ruang ditunjukkan oleh jarak yang tidak lebih dari 2 km (jarak yang cukup dekat) dan terletak pada delapan arah mata angin, dengan Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan berada ditengah-tengah ‘situs-situs’ tersebut; skala bentuk ditunjukkan oleh pemanafaatan batu-batu alam dengan bentuk yang sangat alami dengan “mengimposisi kepada lingkungan alam’:
1.Situs Sanghyang Kolak di Gn. Palasari , + 1349.27 m
2.Situs Batu Lingga Cikondang-Kampung Cikondang,Desa Pasanggrahan (+ 524 m)
3. Situs Batu Kursi di Kampung Pasirpeti, Desa Margalaksana ( + 1641.61 m)
4. Situs Geger Hanjuang (Patilasan Kraton dan Makam Sunan Guling) Kampung Ciguling,
Desa Margalaksana (+ 1651.27 m)
5. Situs Cadas Gantung di Kampung Pasirpeti, Desa Margalaksana (+ 1404.61 m)
6. Situs Patilasan Ibukota Sumedanglarang di Kampung Ciguling, Kelurahan Pasanggrahan (+
1358.78 m)
7. Situs Makam Prabu Pagulingan raja Sumedanglarang ke-4 di Kampung Nangtung, Desa
Ciherang (+ 1291.07 m)
8. Situs Makam Bagus Suren di Kampung Jamban, Desa Girimukti (+ 594.25 m)
Di Situs Batu Nantung Selareuma, diamati adanya singkapan lava bersifat basaltis dengan struktur kekar kolom (columnar joint), penduduk setempat disebut Batu Tonggak dan diyakini batuan andesitis. Skala bentuk (form), hasil analisis geologis menegaskan bahwa kekar kolom (columnar joint) ini sangat lazim terbentuk di daerah gunung api, hasil pembekuan magma yang keluar ke permukaan yang disebut lava. Bentuk kekar kolom bervariasi, segi-5, segi-6 ataupun segi-8 dengan arah kolom berdiri/tegak, miring atau rebah, tergantung dari arah dan pola aliran lavanya. Dengan adanya kekar kolom, maka diketahui arah aliran lava, karena arah aliran lava tegak lurus dengan sumbu memanjang dari kolom kedudukan kekar kolomnya berdiri, meski miring sekitar 60o. Di Situs bekas Ibukota Sumedang larang di Ciguling terdapat batuan basaltis dengan kedudukan/posisi terguling/rebah, bertumpuk sejajar dan searah, pada dasarnya merupakan kolom-kolom dari lava basaltis. Yang perlu dipelajari secara rinci adalah, apakah penumpukan tersebut merupakan hasil karya leluhur Kabuyutan, atau secara alami.
Jika penumpukan tersebut hasil karya leluhur, sangat mungkin bahannya diambil dari daerah sekitar yang tidak jauh, sebagaimana disebutkan seluruh tempat terdapatnya situs-situs merupakan batuan lava basaltis dengan struktur kekar kolom (columnar joint). Namun jika penumpukan dengan kedudukan terguling/rebah adalah hasil kegiatan alam, artinya terdapat pola dan arah aliran lava yang berbeda dengan di Situs Batu Nantung, karena menghasilkan pola kekar kolomnya tidak berdiri/tegak seperti tonggak, melainkan terguling/rebah. Demikian pula penamaan situs oleh masyarakat Sunda Sumedang di masa lampau (Kabuyutan) sebagai Batu Nantung (Batu Tonggak/Berdiri) sangat sesuai dengan keadaan alam, batuan di situs tersebut berdiri tegak, atau Batu Tonggak memang terbentuk secara alamiah sebagai hasil pembekuan lava basaltis di permukaan, hasil kegiatan volkanisme pada Kala Plestosen (sampai sekitar 1,5 juta tahun yang lalu). Batuan lava basaltis yang membentuk kekar kolom inilah kiranya dimanfaatkan oleh Kabuyutan yang kini dimaknai sebagai situs budaya masa lampau seperti di Situs Batu Menhir di Cikondang, Situs Ciguling, Situs Petilasan Kraton dan Situs Bagus Suren di Desa Girimukti. Situs – situs tersebut semuanya terletak disuatu daerah bukit atau perbukitan yang diketahui jelas adanya suatu tubuh kekar kolom dari batuan basaltis digunakan Kabuyutan untuk kepentingan tertentu berhubungan sesuai nilai kehidupan dikala itu.
Skala waktu (time) ditunjukkan sejumlah data tekstual berupa karyasastra yang secara faktual mengetengahkan peristiwa kontemporer dengan zamannya. Mengapa data tekstual digunakan untuk menempatkan Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan, dalam upaya mengidentifikasikan Karena sesuai sifat dan data Arkeologi adalah data kontekstual yang diperoleh dengan melalui ‘analisis materi’ (budaya materi) meliputi pendaftaran, pencatatan dan pemugaran yang sifatnya sensorable message. Tatkala saatnya tiba membahas dan mengungkap masalah-masalah yang ada dibalik data kontekstual ‘yng bisu’ (karena si pemangku budayanya telah tiada) dilakukan kepada penjelasan-penjelasan data tekstual (data yang langsung berbicara kepada kita).
Itu sebabnya di belahan dunia lain, Arkeologi, disamping bidang ilmu berdiri sendiri juga dipandang sebagai bidang pengkhususan Antropologi, maka permasalahan perkembangan seni dalam kedua bidang itu didekati dengan cara sama. Sebagai contoh di Amerika, Arkeologi sebagai bidang ilmu sebagian besar meliputi masa Prasejarah, maka warisan aktivitas budaya dipelajari tidak mengandung data tekstual (sumber tertulis). Penafsirannya bersandar pada analisis artefak dengan berbagai cara, atau analogi dengan data Etnografi. Tetapi di Indonesia membahas Arkeologi mengggunakan pendekatan 1) Arkeologi Prasejarah dan pendekatan Antropologi, 2) Oudheidkundige dan Art History. Dalam hal ini Oudheidkundige yang di dalamnya termasuk data tekstual itu, memberikan penjelasan mengenai artefak-artefak seni kuna dengan menggunakan data tekstual (sumber-sumber tertulis) yang di dalamnya sarat dengan keterangan-keterangan pemikiran, khususnya tentang gagasan-gagasan keagamaan yang nyata dan secara faktual melandasi karya-karya seni tersebut. Data Tekstual sumber tertulis (prassati, karyassatra, tradisi lisan/tutur) terutama digunakan meletakkan suatu karya ke dalam titik waktu tertentu (kronologi), sehingga data kontekstual itu tidak membisu tetpi mampu berbicara sebagaimana adanya di dalam ruang-waktu dan bentuk Sejarah Kebudayaan suatu bangsa.
4. Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan adalah ‘Datum Point’ Kabuyutan (Ceremonial Center): Gerbang (Madyapada) Yang Berlaku Dalam Unsur Keyakinan Keagamaan Masyarakat Tatar Sunda
Tatanan mengelilingi dengan pusat (puseur) di Gunung/Pasir Reungit adalah sesuai konsep Sang Sewasogata, dimana Gunung/Pasir Reungit merupakan Pancatantramantra (lima unsur halus), secara gaib terdiri dari tujuh susun berupa kesirnaan/lenyap, tujuh susun bersuasana sunyi/hampa. Sedangkan di bagian selatan terletak Situs Batu Pangcalikan, simbol sakala (alam dunia) “Bhuhloka/Madyapada”(dunia tempat manusia).
Dikemukakan Dr.Undang Ahmad Darsa (Filolog-Universitas Pajajaran) bahwa secara horizontal tatanan Gunung/ Pasir Reungit dan situs-situs yang mengilinginya pada arah delapan mata angin merupakan pancer sebagai tonggak dangiang layaknya sarang lebah di dunia nyata “jagat leutik/buana leutik”; secara vertikal melambangkan jagat gede/jagat ageung-alam semesta (Kropak 422 dan teks Sang Hyang Hayu), tata ruang jagat (kosmos) terbagi menjadi tiga susunan:
susunan dunia bawah-saptapatala ‘tujuh neraka’
Bumi tempat kita saat ini yang disebut madyapada; dan
susunan dunia atas, saptabuana atau buanapitu ‘tujuh sorga’.
Tempat di antara saptapatala dengan saptabuana ini disebut madyapada, yakni pratiwi ‘dunia tempat manusia’. Konsep tataruang (Kosmologis) masyarakat Sunda yang bersifat triumvirate ‘tiga serangkai, tritunggal’.
Dalam tatanan inilah Masyarakat Sunda mencari makna dunia menurut eksistensinya, menyangkut keluasan lingkupnya yang mengandung segala macam dunia dengan seluruh bagian dan aspeknya sehingga tidak ada sesuatupun yang dikecualikan. Artinya masyarakat Sunda memiliki pandangan tentang kesejajaran makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Di sini Gunung/Pasir Reungit atau Cadas Nangtung Pasanggrahan ataupun Selareuma merupakan Madyapada yang menjadi jembatan (Sunda: rawayan) batas antara alam pratiwi ‘dunia manusia’ menuju ke Swahloka atau buana nyungcung.
Karena itu Selareuma bukan semata mengacu ucapan asal-asalan dan semen-mena, melainkan konsep dasar kosmologi Sunda. Istilah selareuma secara morfologi terdiri dua kata, sela dan reuma. Kata sela dalam bahasa Sunda artinya ‘celah atau jarak antara dua benda terpisah’, homofon dengan kata séla yang artinya ‘batu’. Kata reuma adalah varian bentuk dari istilah huma artinya ‘lahan perladangan/ perkebunan’, homofon dengan kata réma artinya ‘jari-jemari atau ujung rambut’ (Satjadibrata: KBS, 1954; Panitia Kamus LBSS: KBS, 1990; Danabrata: KBS, 2006). Demikian istilah sela dikenal di dalam bahasa Jawa berarti ‘sela, bersela, lapang, senggang’, sedangkan kata séla artinya ‘batu, kemenyan, intan, pelana, sela, ringka, ringga (gajah)’ (Prawiroatmojo, BJI. 1981). Dalam bahasa Jawa Kuno, sela dapat diartikan ‘selang, celah, antara; sedangkan séla adalah ‘batu’ (Mardiwarsito, KJKI. 1978; Zoetmulder, OJED. 1982).
Filolog Undang Ahmad Darsa menegaskan bahwa baik bahasa Jawa kini maupun bahasa Jawa Kuno tidak ditemukan kata réma juga reuma ataupun huma. Namun secara morfologi ditemukan dalam bahasa Sunda, kata Selareuma artinya ‘celah atau jarak diantara lahan perladangan atau perkebunan’; sélareuma ‘batu atau bebatuan di perladangan/ perkebunan’. Selaréma juga merujuk arti ‘celah atau jarak antara jari-jemari atau ujung rambut’; sélaréma artinya‘ batu atau bebatuan bercelah seperti jari-jemari/ujung rambut’. Istilah selareuma, selaréma, juga selahuma adalah bentukan kata asli dalam bahasa Sunda. Selareuma atau sélareuma identik dengan selahuma mengandung pengertian tempat ladang bebatuan yang tegak berderet bagaikan jari-jemari; istilah pasanggrahan secara morfologis terdiri atas kata dasar sanggrah artinya ‘menyimpan sementara (barang atau orang) sementara waktu’ mendapat gabungan awalan pa- dan akhiran –an yang berfungsi membentuk kata tempat atau lokasi. Jadi pasanggarahan artinya ‘tempat atau rumah peristirahatan sementara untuk bermalam para pejabat atau tamu penting’.
Senarai data tekstual (sumber tertulis) dan data kontekstual (data arkeologi) nyatalah bahwa Gunung/Pasir Reungit – Selareuma – Pasangggrahan adalah tempat sementara persinggahan. Karena itu Selahuma (baca: Selareuma) juga disebutkan dalam Serat Purusangkara sebanyak 25 x penyebutan, pada bagian ini Selahuma merujuk pada nama tempat atau lokasi yang bersifat mitos-legendaris. Istilah yang sangat Sunda yang mencakup berbagai makna teramat dalam mengacu kepada kegiatan berladang guna melangsungkan kehidupan sehari-hari (sensorable-message), istilah yang juga dipakainya hingga kalanggengan (unsensorable-message). Maka Gunung/Pasir Reungit adalah ‘AXIS MUNDI’ alam sela/Madyapada, dan bukan kebetulan jika bentuk-bentuk tonggak batu menjulang “menhir” ini memang disediakan oleh alam (kendati meruapakan hasil proses geologis), namun sesuai kosmologis Sunda, bukit Selareuma adalah layaknya untaian reuma ‘alam celah’ pemberhentian sejenak, perjalanan jiwa/sukma/roh selanjutnya menuju ke alam lebih tinggi yaitu buanasapta atau saptaloka yang dalam tatanan Kabuyutan Sumedanglarang adalah Gunung Tampomas. Yang digambarkan sebagai berikut:
Alam Dunia
(Buana) Alam Kehidupan
Jatiniskala
(Kemahagaiban Sejati) Gunung Tampomas Sang Hyang Manon
atau
Si Ijunajati Nistemen.
Niskala
(Kahyangan) Alam diatas Selareuma Surga Makhluk gaib:
dewa-dewi, bidadari-bidadari, apsara-apsari, dan sebagainya.
Neraka Manusia yang tidak menjalani ajaran Sang Hyang Manon
PASIR REUNGIT/CADAS NANGTUNG PASANGGRAHAN/
SELAREUMA = alam sejenak = AXIS MUNDI
MADYAPADA = GERBANG KAHIYANGAN
Sakala
(Alam Nyata) Situs-situs di lingkungan Selareuma Cadas Nangtung pada 8 arah Mata angin Manusia, hewan, tumbuhan, dan benda lain yang dapat dilihat.
Alam sementara atau alam sejenak adalah adalah alam gaib yang dalam Serat Purusangkara disebutkan sebagai berikut:
“. . . Duh Paduka Sang Jagad Yang Berkuasa, mengenai turunannya Brahma dan juga Kala itu sekarang menjadi raja di Tanah Selahuma. Merajai semua raksasa yang melindungi seluruh tempat di sana. Negerinya pasti dinamai Selahuma, sedangkan yang menjadi raja adalah Kala, dengan julukan (Hal.135) Prabu Yaksadewa. Brahma itu menjadi gada yang dibawa Prabu Yaksadewa, sedangkan yang menjadi keinginannya adalah memusnahkan semua keturunan Wisnu”. Sanghyang Girinata bertanya kembali, “Mengapa sampai tiba-tiba hendak berbuat salah kepada sesama makhluk? Sekarang Brahma dan Kala itu sama-sama tidak patuh pada aturan saya . . . ”
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Selahuma mengacu pada sebuah nama tempat di bumi yang merujuk pada suatu lokasi lingkungan sebagaimana telah diuraikan di muka. Namun demikian, para penghuni tempat tersebut dapat dikategorikan sebagai mahluk dunia gaib, yakni: Sanghiyang Girinata, Sanghiyang Naradha (penghuni Suryalaya), Sanghiyang Kala dan Sanghiyang Brahma (penghuni Suryalaya yang turun ke Selahuma). Dunia gaib itu dalam naskah Sang Hyang Hayu termasuk alam saptabuana atau buanapitu. Artinya bahwa lokasi Selahuma atau Selareuma merupakan tempat yang memiliki fungsi magis dalam tatanan ruang bagi masyarakat yang tinggal di sekelilingnya.
Tidak perlu dipertanyakan dan diragukan mengapa pada lahan Gunung/Pasir Reungit tidak ditemukan artefak (hasil buatan manusia) kecuali benda-benda yang merupakan sumber daya alam. Artefak-artefak (situs-situs) ditemukan justru berada dan terletak disekeliling Gunung/Pasir Reungit. Karena Gunung/Pasir Reungit merupakan lahan dalam kosmologi Sunda merupakan gerbang ke alam Kahiyangan sebelum menuju ke Gunung Tampomas.
Selaras pemilihan dan penmpatan lahan lingkungan (ecological factor:faktor ekologis) sebagian besar Kabuyutan Tatar Sunda menempati lahan gunung, bukit-bukit, atau dataran-dataran tinggi di lingkungan pegunungan; juga dekat aliran atau pertemuan sungai besar; juga bentuk dan konsep continuity, bangunan kabuyutan dilandasi kepercayaan yang dianut masyarakat dengan budaya tradisi Megalitik yakni penghormatan kepada leluhur. Lahan-lahan ekologis yang dipilih tersebut merupakan pusat atau sumber dan sarat dengan kandungan daya dalam menunjang sarana kehidupan manusia, tidak hanya berlaku bagi bangunan suci, juga hunian sekaligus landasan pokok keyakinan menghormati leluhur (Karuhun; Rumuhun) yang diistilahkan Hiyang.
Para pakar sependapat bahwa pengaruh India di Nusantara identik dengan hadirnya agama Hindu-Buda, implikasinya kerap mengecoh seakan kekunaan sejarah Indonesia lalu harus diukur dan dinilai melalui penetrasi kebudayaan Hindu-Buda. Mengesankan seakan-akan seluruh masyarakat Nusantara memeluk Hindu-Buda padahal kenyataannya tidaklah demikian. Seorang sarjana Belanda bernama C.M.Pleyte (cf. Danasasmita l975:37) pernah menegaskan:
“Hinduisme i.e. Sivaism made its entry into the Pasundan but wether it ever became popular is rather doubtful, as not more about half a score of images belonging to the Sivaitic pantheon have been discovered, whilst such temples and monasteries as ain Middle and Eastern Java sought for in vain. It is fair to conclude therefore, that while a few of the native princes did perhaps adopt the foreign religion, the bulk of the population remained true to their original creed founded on animism and ancestor worship”.
Sejak awal Masyarakat Sunda akrab dengan kehidupan berladang dan identik dengan sebutan masyarakat peladang tidak memberi peluang subur untuk pertumbuhan kultur Hindu melainkan sebaliknya tradisi megalitiklah yang bertahan sebagai esensi dari kehidupan spiritualnya. Leluhur (hiyang) adalah unsur pemujaan tertinggi mewarnai pusat-pusat kabuyutan di Tatar Sunda. Dimana kabuyutan adalah khas carek masyarakat Tatar Sunda dan tidak pernah disebut ‘Candi’ itu dituliskan beberapa sumber tertulis, diantaranya karyasastra Kabuyutan ti Galunggung dan piagam resmi kerajaan sebagai Piteket dang dikeluarkan oleh Sri Baduga Maharajadhiraja Sri Sang Ratudewata. Raja yang untuk kesekian kalinya memimpin dan mempersatukan pusat Kerajaan Galuh (wetan–kidul) dengan pusat Kerajaan Sunda (kulon-kaler) ke dalam satu panji kekuasaan mutlak Pakwan Pajajaran. Kedudukannya sebagai ‘maharaja’ yang memiliki kedudukan mutlak sebagai pemimpin politik dan pemimpin keagamaan. Karenanya ia bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan dan rakyatnya, diantaranya membuat ‘piteket’ mengamankan seluruh gunung sebagai sumberdaya alam dimana terdapat (ditempatkan) bangunan suci kerajaan ‘khas’ Sunda yakni Kabuyutan yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaannya sejak masa paling awal hingga masa pemerintahannya. Perilaku yang masih tercermin ketat pada komunitas Kanekes (Baduy di Banten Selatan) bahwa ngabaratapakeun nusa “apa yang telah dianugrahkan Sang Cipta tidak boleh dirubah melainkan harus diperlakukan dan dipulasara sebagaimana adanya, tanpa mengubah apalagi mengeksploitasinya”.
Maka Kabuyutan di Tatar Sunda selalu mengimposisi kepada lingkungan dan bukan modifikasi, jikalaupun diperlukan perubahan, akan dilakukan seperlunya tanpa merusak tatanan asli. Kabuyutan dengan corak tradisi Megalitik adalah representasi pengulangan tingkahlaku berpola ke dalam simbol-simbol keagamaan khas Sunda. Bangunan keagamaan dengan ciri dan karakter sesuai latar belakang budayanya. Sebagaimana istilah kabuyutan identik dengan istilah Sunda Wiwitan, ajaran yang menjadi landasan dasar paling azasi dan mewarnai sebagian besar warisan aktivitas budaya Tatar Sunda.
Rangkaian tingkahlaku yang secara ”nirsadar” telah terbentuk dari endapan pengalaman pribadi di masa lampau, dengan dipilihnya corak tradisi megalitik, tiada lain adalah penstrukturan kepribadian sejalan motivasi dan kemampuan. Di dalam upaya Masyarakat Tatar Sunda menjembatani diri, memberi arah kehidupan sesuai tuntutan sosial budaya keagamaan. Continuity kentalnya tradisi megalitik pada hakekatnya mencerminkan perilaku kognitif kesinambungan pengakuan peran leluhur terhadap keberadaan kehidupan dunia. Dengan kata lain kabuyutan adalah kepribadian Masyarakat Tatar Sunda di dalam dimensi ruang, bentuk dan waktu.
Kiranya perlu dikemukakan bahwa tidak satu kata maupun istilah yang pernah disebut dalam seluruh sumber tertulis (textual data) yang berhasil ditemukan di Mandala Sunda (Tatar Sunda), yang mencantumkan kata “Candi” untuk menyebut bangunan suci atau pusat upacara keagamaan, melainkan Kabuyutan. Istilah logis mengacu konsepsi dasarnya yakni penghormatan kepada leluhur, dengan aspek dan perangkat pusat upacara keagamaan termasuk faktor keselarasan lingkungan turut dipertimbangkan sehingga memperlihatkan ciri dan karakter khas sesuai lingkup lahannya.Bangunan keagamaan yang bentuk dan gayanya sangat jauh berbeda dengan bangunan suci pengaruh Hindu-Buda yang disebut Candi. berhasil ditemukan dicirikan oleh kemegahan artefak-artefaknya yang artifisial, bentuk yang jauh berbeda dengan bangunan keagamaaan di Tatar Sunda yang sebagian besar warisan aktivitasnya ketika ditemukan itu tidak lebih daripada sejumlah besar bongkah dan kerakal andesit berserakan, tidak tampak sebagai bangunan melainkan lahan dipenuhi serakan batu. Inilah ciri atau variabel yang sekaligus menegaskan khas bangunan Kabuyutan:
selalu ditemukan pada suatu dataran tinggi, bukit atau gunung atau lahan –lahan tertinggi diantara sekitarnya yang sarat dengan sumberdaya alam; kabuyutan merupakan mandala gaib puseur dangiang, tahta para leluhur, atau karuhun, karenanya bukit atau gunung dimana pun berada dipercaya sebagai pusat paragi ngahiyang (parahiyangan)
gunung, bukit atau dataran tinggi identik dengan kabuyutan itu sendiri umumnya terletak sebagai batas desa atau batas suatu pemukiman
Kabuyutan, di satu pihak secara tegas menggugurkan asumsi di Tatar Sunda tidak ada atau sangat jarang ditemukan bangunan keagamaan, dilain pihak memberi peluang intentitas budaya sesungguhnya bangunan suci masyarakat Tatar Sunda pada masa tatanan pemerintahan masih bercorak kerajaan (Monarki absolut).
Bukit/[Pasir] Reungit dengan keberadaan dan kandungan sumberdaya alam berupa batu-batu tonggak tersusun rapi dengan kemiringan sekitar 60° ke arah timur. Lahannya terletak di lingkungan pegunungan termasuk dalam rangkaian Dataran Tinggi Parahiyangan yang marupakan “benteng pakidulan” dan kawasan hulu (girang) aliran sungai-sungai Tatar Sunda; seperti kenyataannya bahwa aliran (sungai) Cipeles bermuara ke timur yakni Cimanuk. Semua tatanan fisiografis tersebut bukan semata kebetulan belaka, melainkan fakta bahwa Pasir Reungit berorientasi ke timur “Leluhur alias Karuhun” yang mengawali kehidupan. Selaras tataran waktu, sejarah mencatat raja-raja Sumedang keturunan raja-raja yang pernah berjaya di masa lalu berpusat di wetan yakni Kerajaan Talaga.
Batu tonggak yang tersusun rapih tersebut sebagian besar menunjukkan ciri khusus yakni bagian badan yang diletakkan di bawah (di atas tanah) menunjukkan permukaan yang rata, sedangkan bagian badan mendongak ke atas berpermukaan kerucut semu “seperti bekas dipangkas kasar” bukan pula kebetulan, namun berkait kepada pola alami bahan bangunan yang secara umum ditemukan pada sebagian besar Kabuyutan di Tatar Sunda khususnya yang mengambil corak tradisi Megalitik.
Kabuyutan adalah mandala kerajaan maka setiap kerajaan selalu memilikinya., karena itu Kabuyutan disebutkan dalam karyasastra Kabuyutan ti Galunggung sebagai timbang taraju jawadwipa mandala. Maka bukan asal berkata jikalu Warga Pribumi yang termasuk dalam katagori senior (sesepuh) yang menjabat sebagai ketua yayasan Kraton Sumedang Larang menyampaikan kepada KaPolWil Priangan Kolonel Anton (pers.com mobile: 12 November 2009) bahwa Pasir Reungit bagi masyarakat Sumedang merupakan “Cadas Nangtung Nu Ngajadi Ciriwanci Sumedang Larang”. Selaras dengan yanag digambarkan oleh Pantun Lutung Kasarung: “Gunung Cupu Mandala-hayu, Mandala Kasawiatan, di Hulu Dayeuh, dina cai nu teu inumeun, dina areuy nu teu tilaseun, dina jalan teu sorangeun, sakitu kasaramunan..”
Bahkan lebih tegas dinyatakan oleh pakar Sunda (almarhum) Prof.Dr. Ayatrohaedi: “Bangunan suci masayarakat Tatar Sunda tidak selalu harus diidentifikasi sebagai bangunan dengan artefak atau struktur seperti bangunan suci yang dimengerti masyarakat umumnya (candi); atau bangunan lengkap dengan fondasi, dinding dan atap, melainkan lahan bukit alam atau dibuat lambang suatu bukit (bukit buatan = gugunungan) dengan vegetasi hutan yang dibiarkan tumbuh alami…”
Maka sesuai kenyataannya bahwa sautu Kabuyutan selalu ditemukan pada suatu bukit, gunung, dataran tinggi di lingkungan pegunungan, sekaligus menjadi batas/ujung lahan suatu pemukiman/hunian (hulu dayeuh) di sekitarnya, sehingga yang nampak tidak seperti megahnya “bangunan candi Borobudur” melainkan tiada lain gunung yang dipenuhi serakan batu berbagai bentuk di tengah-tengah kawasan hutan lebat. Sejauhmana dan bagaimana bentuk dan tatanan Pasir Reungit ketika masih berfungsi dan digunakan pemangku budaya, tidak dapat dijelaskan.
Jelas Gunung/Pasir Reungit dengan keseluruhan yang nampak di permukaan, ditunjang letaknya di Dataran Tinggi Parahiyangan dengan pola dan tatanan alami “mengimposisi” pada lingkungan alam, lahan bukit dan kandungan sumberdaya-nya yang dimanfaatkan sesuai bentuk alam adalah varibel penunjang suatu Kabuyutan. Maka tegas Gunung/Pasir Reungit adalah Situs “Cadas Nangtung Nu Ngajadi Ciriwanci Sumedang Larang”. Dalam pengertian seluasluasnya Gunung/Pasir Reungit adalah salah satu Kabuyutan Cadas Nangtung – Mandala Kasawiatan nu aya di Hulu Dayeuh, dina cai teu inumeun, dina areuy teu tilaseun, dina jalan sorangeun sakitu kasaramunan, kawasan yang memang semula “leuweung geledegan” (hutan lebat). Kondisi dan karakter lahan seperti inilah yang merupakan lokasi yang senantiasa dipilih dan ditempatkan Kabuyutan bagi masyarakat Tatar Sunda sejak masa paling awal.
Berdasarkan adanya pernyataan tentang BCB 1992 yakni: “… dalam wacana para Arkeolog sepakat bahwa pengertian ‘situs’ sebagai kawasan adalah lahan yang relatif luas, yang berada dan mengandung sebaran sejumlah situs arkeologi yang letaknya berdekatan atau dalam satuan ruang (spatial clustering sites)…”. Gunung/Pasir Reungit dengan situs-situs Kabuyutan di sekelilingnya (dalam bentang keruangan delapan arah mata angin) tidak hanya berdekatan dalam hal keruangannya (space), juga memiliki kedekatan dalam bentuk (form) dan waktu dalam sejarah kebudayaan Sumedanglarang. Hasil kegiatan lapangan membuktikan pula Gunung/Pasir Reungit merupakan SITUS ke dalam katagori Locality Site dalam Tatanan Mandala Kabuyutan Cadas Nangtung di lingkungan Gunung Tampomas dengan seluruh kandungan warisan budaya lintas masa Sejarah Sumedanglarang.
5. Penutup
Demikian kiaranya, setiap situs memiliki karakter yang unik dan khas sesuai pengalaman pengetahuan kebudayaan masyarakat pendukung yang telah dijiwai sejarah masa lampaunya, maka tidak semua situs arkeologi dapat digeneralisasi begitu saja, apalagi dengan kondisi pengetahuan si peneliti yang kerap terbatas hanya pada pilihan bidang-bidang minat spesialisasi tertentu.
Selayak dinyatakan oleh Dr.Elis Suryani (Filolog Unversitas Pajajaran) bahwa di era globalisasi saat ini masih terbersit hasrat untuk melirik sejarah dan kearifan lokal budaya masa silam, hal itu cukup arif, karena jika kita cermati secara seksama, tanpa kita sadari banyak manfaat serta informasi budaya hasil kreativitas dan warisan karuhun terdahulu yang bisa kita gali dan kita ungkapkan di masa kini. Lain daripada itu, harus diakui bahwa di era globalisasi sekarang, ada kecenderungan bahwa masyarakat lebih menghargai budaya asing dibandingkan budaya ‘pituin’ kita sendiri. Globalisasi memang tidak bisa kita hindari, namun kita dituntut agar pandai memilih dan memilah budaya asing yang masuk, serta lebih menghargai peninggalan warisan budaya karuhun kita di atas kepentingan pribadi, karena warisan budaya nenek moyang kita jauh lebih berharga dan tidak bisa diukur dengan materi semata.
Salah satu sumber informasi budaya masa lampau yang sangat penting adalah naskah, karena naskah dapat dipandang sebagai dokumen budaya yang berisi berbagai data dan informasi ide, pikiran, perasaan, dan pengetahuan sejarah, serta budaya dari bangsa atau sekelompok sosial budaya tertentu. Oleh karena itu beberapa hal menarik dari naskah, prasasti, maupun tradisi lisan, baik tuntunan moral, sistem pemerintahan, kepemimpinan, kosmologis, topografi, pandangan hidup, situs atau ‘kabuyutan’, maupun unsur budaya lainnya yang memberi gambaran sistem pemerintahan dan kepemimpinan serta kosmologis masa lampau yang masih sangat relevan untuk dicermati dan dikaji guna menunjang mengungkapakan data arkeologi yang sifatnya sangat terbatas. Maka sebagai sumber informasi, dipastikan naskah-naskah buhun termasuk salah satu unsur budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang melahirkan dan mendukungnya. Terutama menyangkut isinya menyiratkan aspek-aspek kehidupan masyarakat meliputi kondisi sosial dan budaya, religi, teknologi, ekonomi, kemasyarakatan, pendidikan, bahasa, dan seni.
Nyata bahwa warisan karuhun orang Sunda disebut ‘kabuyutan’ Gunung/Pasir Reungit ada hubungannya dengan salah satu naskah Sunda berjudul Puru Sangkara yang secara faktual mengungkap keadaan sosial pendukung budaya tatkala kabuyutan masih berfungsi. Ditunjang tradisi lisan berupa folklore yang berkembang di masyarakat sekitar daerah Gunung/Pasir Reungit berada. -Cadas Nangtung Pasanggrahan. Membuktikan bahwa naskah bukan isapan jempol belaka, tidak dianggap dan tidak dihargai, apalagi diremehkan keberadaannya. Nyata pula bahwa data tekstual sarat dengan khasanah pengetahuan bagi mereka yang hendak ‘wanoh” (mengenal) sedalam-dalamnya dan sesungguh-sungguhnya falsafah kehidupan Urang Sunda yang sejati. Dengan aspek arkeologis, kosmologis, antropologis dan lain-lain telah ditunjukkan dengan sangat logis dan wajar “kehebatan para Buyut” mampu memilih lokasi. Kehidupan yang menyatu dengan alam, membuat mereka sangat memahami aspek lingkungan dan dapat memilih daerah yang “ramah lingkungan” untuk seluruh kehidupannya, termasuk aspek ritualitasnya.
Nyata pula hasil kegiatan lapangan (data kontekstual) ditunjang berdasarkan (data tekstual: kutipan teks Carita Ratu Pakuan, tercatat nama Sumedanglarang – dicatat 4x-, Pagulingan, dan Cadasgantung ditulis Cadas Gumantung di samping juga Cadas Putih Gumalasar. Dicatat pula Sanghiyang Karang Curi yang artinya sama dengan Batu Tegak atau Batu Tiang. Gunung Tamporasih adalah nama lain dari Gunung Tampomas yang tercatat dalam teks naskah Kisah Bujangga Manik (tiga kali).
Tegaslah! Gunung/Pasir Reungit – Batunangtung Pasanggrahan adalah SITUS katagori Locality Site di lingkungan Gunung Tampomas dengan seluruh kandungan warisan budaya dalm lintas Sejarah Kebudayaan Sumedanglarang.

Cag-Peun!
Bintaro, Desember 2009
Richadiana Kadarisman Kartakusuma
Sukapura Ngadaun Ngora
 Ilham Nurwansyah

No comments: