Amir Syarifuddin: Kandidat Proklamator yang Terlupakan

Konsep kewarganegaraan bukan berdasarkan atas darah dan ras melainkan berdasarkan tempat kediaman dan hak-hak yang melekat sebagai warganegara.”(Amir Syarifuddin)
Napak Tilas Bung Amir
13528620571128263621
sumber gambar: Tempo.co.id
Lahir sebagai batak tulen, sebagai anak di tengah keluarga muslim yang taat, sebagai anak dari keluarga terhormat, tapi rasa-rasanya tak membuat putra bangsa yang lahir di kota Medan, Sumatera Utara pada 27 April 1907 ini tumbuh menjadi anak ‘manja’. Sebaliknya, tidak ada kata takut buatnya. Dengan modal pendidikan yang diterimanya sedari kecil, ternyata membuat pola pikir Bung Amir menjadi sangat luas. Sejak menjadi siswa, dia sudah aktif dalam kelompok-kelompok diskusi Kristen (walaupun saat itu dia belum dibabtis menjadi Kristen) dan tergabung dalam organisasi CSV of Java (yang kemudian menjadi cikal-bakal GMKI). Kegiatan seperti ini semakin membuka khasanah berpikirnya. Pendidikan Formal dan informal yang diterimanya semasa remaja menjadikannya salah satu tokoh yang berkontribusi penting dalam mendaulatkan negara ini.
Pada tahun 1931, Bung Amir menjadi seorang Kristen dan diabtis oleh Pdt. Peter Tambunan, Pendeta HKBP saat itu. Bung Amir menjadi penganut Kristen berpaham Teologi-Kontekstual. Pe-mualafan Amir pada dasarnya bersifat personal walaupun tidak terlepas dari pengaruh eksternal seperti Kakeknya sendiri, penganut Kristen taat, Soetan Goenoeng Toea. Kedua, orang-orang disekitarnya saat itu dan ketiga,kedekatannya dengan mahagurunya di tanah air. Namun terlepas faktor-faktor tersebut, Bung Amir pnuya jalan sendiri dalam melakukan pencarian, sehingga dia memutsukan untuk menjadi penganut Kristen.
Lahirnya Deklarasi Sumpah Pemuda pun tak lepas dari partisipasi pria yang mewakili Jong Batak ini. Bahkan Amir masuk dalam struktur pengurus Kongres Pemuda sebagai Bendahara umum. Eksistensi dan peranannya untuk memerdekakan Indonsia merupakan manifestasi nasionalismenya. Perjuangannya pun konsisten sampai mendekati Proklamasi Indonesia, Bung Amir tetap getol berjuang demi kemerdekaan hakiki. Bahkan, isu yang beredar zaman itu, Bung Amir sempat di usulkan sebagai pembaca teks Proklamasi (Proklamator) melalui pertemuan saat itu. Tetapi entah mengapa niatan itu urung.
Tahun 1931, Bung Amir pun mendirikan Partai indonesia (Partindo) kemudian setelah itu mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang merupakan salah satu strategi untuk memerdekakan Indonesia. Buah pemikiran bung Amir tidak terlepas dari lingkungan tempat dia tinggal. Berdiam di Keramat 106 (sekarang menjadi Gedung Sumpah Pemuda), telah membuka pintu pemikiran bagi bung Amir karena tempat itu ternyata menjadi tempat berkumpulnya tokoh-tokoh nasional seperti M. Yamin, Assaat, Wongsonegoro, Abbas, Su wirjo, Reksodiputro, Tamzil, dan lainnya yang tergabung dalam Indonesis- Clubgebouw (IC).
Hubungan Amir dengan ‘dunia kiri’ diawali dengan impiannya untuk mensejahterahkan rakyat kecil dan ditambah dengan ketidaksukaannya terhadap sistem fasis (anti-fasis), sehingga dia sempat ditangkap oleh tentara Jepang (masa penjajahan Jepang) karena dianggap pemberontak. Dalam pengasingannya, Amir beberapa kali mendapat perlakuan tidak manusiawi seperti diikat (kaki diatas) dan dihujam dengan benda-benda tumpul. Namun tetap saja, manusia yang tak kenal takut ini tidak surut semangatnya untuk memerdekakan Indonesia.
Lalu, impian, harapan dan doa terjawab sudah, akhirnya Indonesia merdeka. Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, dan Bung Amir menjadi ikon pemuda kala itu.
Namun tidak sampai setahun umur kedaulatan Indonesia, bangsa kita kembali diguncang penjajah. Belanda yang masih ‘penasaran’ dengan Indonesia ingin kembali merebut Indonesia. Agresi Militer pun terjadi dimana-mana. Dan beberapa kali pula Pemerintah Indonesia-Belanda harus berunding. Dan salah satu perundingan pemerintahan Indonesia-Belanda, Perjanjian Renville, diwakilkan oleh Bung Amir sekaligus sebagai negosiator walaupun banyak pihak yang menilai bung Amir gagal melakukan negosiasi. Bung Amir menjadi perwakilan sat itu memang tidak terlepas dari posisinya sebagai perdana menteri setelah ‘menggeser’ Syahrir menjadi perdana menteri sebelumnya.
Namun, pasca gagalnya bung Amir, tingkat kepercayaan terhadap tokoh ini mulai menghilang. Akhirnya awal tahun 1948, Amir lengser dari kursi perdana menterinya.
Tahun 1948 juga, gejolak internal negara menyeruat. Di beberapa daerah terjadi konflik horizontal, seperti peristiwa di Madiun. Proklamator negara, khususnya Hatta menganggap bahwa konflik horizontal yang terjadi di Madiun merupakan ancaman terhadap kedaulatan bangsa. Adanya gerakan komunis secara masif dan diduga ingin mengubah garis haluan bangsa, membuat Hatta mengambil langkah represif untuk mengantisipasi gerakan daerah ini. Selain itu, Hatta juga menganggap bahwa peristiwa madiun tidak terlepas atas gagasan Amir. Padahal ini tidak benar.
Isu inilah yang kemudian dimanajemen sehingga Amir semakin terpuruk. Dan pada tanggal 19 Desember 1948, tepat tengah malam, kepala Amir ditembak dengan pistol dari anggota militer yang sampai sekarang masih ‘ditutup sejarah’. Bung Amir pun wafat dengan segudang sabotase.

Pasca wafatnya, pilu alm. bung Amir masih menggunung
Apa yang telah diperbuat bangsa ini kepada Bung Amir barangkali tidaklah setimpal dengan apa yang telah ia berikan untuk negara. Dari zaman orde lama, orde baru dan sekarang, tidak ada satupun apresiasi pemerintah, bahkan kuburannya sudah ditumbuhi banyak ilalang panjang. Bahkan yang parahnya lagi, di zaman orba, keluarganya tidak diperbolehkan untuk melayat makamnya dengan alasan bahwa bung Amir adalah tokoh PKI. Cukup memiriskan! Kalau dikatakan pahalwan yang terlupakan, barangkali ini relevan. Pahlawan sekaligus calon proklamator ternyata hanya tinggal kenangan yang kelak akan dilupakan.
Bung Amir dan GMKI
Semasa remaja bung Amir memang sangat aktif melakukan kegiatan diskusi dan ibadah. Dan keterlibatannya cukup baik di CSP of Japa. Walaupun tidak secara langsung menjadi perintis GMKI, bung Amir memiliki peranan dalam berdirinya GMKI. Nilai-nilai GMKI pada dasarnya tak ubahnya dengan nilai-nilai SCV of Java.
Namun kalau melihat dinamika di GMKI sendiri, tidak banyak kader GMKI yang mengetahui sepak-terjang tokoh yang satu ini. Kekurangpahaman terhadap bung Amir pada dasarnya lebih disebabkan karena minimnya literatur yang berhubungan dengan dia dan keingintahuan yang kurang terhadap tokoh ini.
Pada momentu Hari pahlawan, terlepasdari itu semua, Amir Syarifudin merupakan salah satu putra bangsa yang pernah ada dan pernah berjuang untuk kemerdekaan Indoensia. Dan akan selalu dianggap Pahlawan bagi beberapa orang. Walaupun kini dia telah tiada, namun ide dan gagasannya sampai sekarang masih tetap hidup walaupun masih banyak kita tidak mengetahuinya. Sebut saja gagasannya seperti kebebasan pers dan konsep kewarganegaraan, merupakan buah pemikiran yang modern ketika itu.
Dan seharusnya bung Amir bukan saja pahlawan bangsa tetapi dia juga pahlawan GMKI, seseorang yang tidak terlepas dari lahirnya organisasi ini. Amir Syarifudin: Pahlawan yang terlupakan baik di negara ini ataupun di GMKI sendiri.
UOUS
Hendry Sianturi

No comments: