Buya Haji Mawardi
Artikel
ini pernah dimuat di Harian Haluan, Rabu 26 September 2012, halaman 6,
dengan judul “Mengenang Buya Haji Mawardi Muhammad”. Dalam bentuk epaper
silahkan diakses link berikut: issuu.com/haluan/docs/hln260912
Perannya dalam dunia pendidikan Islam tidak dapat dinafikan. Namun kajian ilmiah terhadap biografi dan kiprahnya tidak banyak dilakukan sebagaimana tokoh besar Minang lainnya. Justeru, acapkali orang menduga bahwa yang dimaksud dengan Buya Mawardi itu ialah Mawardi Labay el-Sulthani, pemilik al-Mawardi Prima di Jakarta atau ‘Ali Muhammad al-Mawardi, pengarang al-Ahkam al-Sulthaniyah yang terkenal belaka itu. Padahal bukan mereka. Melainkan ianya Buya Haji Mawardi Muhammad, seorang tokoh pendidik, ulama hadis terkemuka dan penulis produktif di zaman serba sulit.
Perannya dalam dunia pendidikan Islam tidak dapat dinafikan. Namun kajian ilmiah terhadap biografi dan kiprahnya tidak banyak dilakukan sebagaimana tokoh besar Minang lainnya. Justeru, acapkali orang menduga bahwa yang dimaksud dengan Buya Mawardi itu ialah Mawardi Labay el-Sulthani, pemilik al-Mawardi Prima di Jakarta atau ‘Ali Muhammad al-Mawardi, pengarang al-Ahkam al-Sulthaniyah yang terkenal belaka itu. Padahal bukan mereka. Melainkan ianya Buya Haji Mawardi Muhammad, seorang tokoh pendidik, ulama hadis terkemuka dan penulis produktif di zaman serba sulit.
Ulama
besar ini dilahirkan di Bulaan Kamba, Kubang Putih pada hari Jumat, 10
Oktober 1913H bersamaan 9 Zulkaedah 1331M. Beliau adalah anak sulung
dari empat bersaudara, Syamsu, Husainah dan Jalisah. Ayahnya, Muhammad
berasal dari suku Salayan Chaniago, merupakan seorang saudagar kain di
Bukittinggi. Manakala ibunya, Khuzaimah berasal dari suku Simabur,
merupakan seorang ibu rumah tangga. Keduanya berasal dari daerah yang
sekarang dikenali sebagai Bulaan Kamba, Nagari Kubang Putih, Kecamatan
Banuhampu, Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Yasminar dan Rusyda, 2011).
Menurut
Indra Gamal dan Irwan Natsir (1988), Buya Haji Mawardi telah melalui
pendidikan dasar dan menengah di Sekolah Rakyat Agam I Bukittinggi dan
Vrobel School (1919); Sekolah Rakyat di Pakan Ahad Kubang Putih
(1920-1921); Gouvernement School (1922-1925); Madrasah Diniyah
Bulaan Kamba (1922-1924); Kelas III Thawalib School dan Diniyah School
Padang Panjang (1925-1926); Madrasah Diniyyah Bulaan Kamba (1926); Kelas
IV Sumatera Thawalib Parabek (1927); Kelas V-VI Thawalib School dan
Diniyyah School Padang Panjang (1928-1930). Selain pendidikan formal di
atas, mengikut Hambali Syarkawi (1990), Buya Haji Mawardi juga
berkesempatan mengikuti beberapa kursus, diantaranya kursus bahasa
Belanda (1936) dan bahasa Inggeris (1938).
Antara
guru-guru Buya Haji Mawardi yang terkenal ialah Syeikh Dr Abdul Karim
Amrullah, Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid Hakim,
Prof KH Zainal Abidin Ahmad, Buya Ahmad Syukur Sulaiman, Buya Duski
Samad, Buya Labai Khatib, dan banyak lagi. Meskipun tidak belajar secara
langsung ke Tanah Arab, namun riwayat keilmuan beliau tetap
kosmopolitan dengan ulama Haramain. Jaringan keilmuan beliau terhubung
melalui gurunya Inyiek Dr dan Syeikh Ibrahim Musa. Karena itu, bila
dikaji secara seksama, beliau memiliki kapasitas ilmiah yang mumpuni.
Sebagaimana dua orang gurunya yang juga tamatan dalam negeri, Engku Mudo
dan Zainal Abidin Ahmad, menulis karya-karya besar dalam bidang fikih
dan usul fiqh berbahasa Arab serta ilmu tata negara dalam Islam, maka
beliau turut melahirkan puluhan karya berbahasa Arab, utamanya dalam
bidang hadis.
Di antara karya-karya beliau itu ialah Risalah Cara Puasa Nabi Muhammad (1934); Hidayah al-Bahith fi Mustalah al-Hadith (1936); Jawahir al-Ahadith al-Nabawiyah (1937); al-‘Arud al-Wadihah (1939); al-Usul al-Nahwiyyah (1942); Sabil al-Zarf fi ‘Ilm al-Sarf (1947); al-Ahadith al-Mukhtarah, juz 1-3 (1951); Ilmu Mushthalah Hadits (1957); ‘Ilm al-Tafsir (1966); al-Ahadith al-Mukhtarah wa Sharhuha, juz 3-6 (1970); Ilmu Faraidl-Fikhi Mawarits (1982); Fi Ma’rifah al-Fasahah wa al-Balaghah (t.th); dan Ma’ani al-Hadith (t.th).
Melihat
karya-karya di atas, dapat disarikan bahwa Buya Mawardi memiliki ilmu
alat yang sangat baik, sehingga beliau dapat melahirkan khazanah yang
sedemikian rupa. Bagi beliau, sepertinya bahasa tidak cukup untuk
dituturkan, melainkan ianya mesti menjadi sarana untuk mempelajari
khazanah Islam lalu menuliskannya kembali dengan bahasa yang ringan.
Selain
aktivitas menulis, beliau juga bekerja sebagai dosen di beberapa
perguruan tinggi. Meskipun pernah menjadi pegawai negeri sipil
(1950-1957), justeru beliau tidak pernah meninggalkan Perguruan Thawalib
sejak menjadi guru (1931) di bekas kampusnya itu, lebih-lebih setelah
diangkat menjadi pimpinan (1959), hingga ke ujung hayatnya. Membangun
pendidikan di zaman perang dan pergolakan bukanlah perkara mudah.
Apalagi dengan fasilitas yang tiada apanya. Seringkali kegiatan belajar
terhenti karena harus mengungsi, menghadapi penjajah-kolonial dan
sebagainya.
Kiprahnya
dalam memajukan IAIN Imam Bonjol, semenjak PTAI tersebut ditubuhkan,
tidak boleh diremehkan. Hampir setiap fakultas di institusi pendidikan
tinggi Islam tersebut pernah beliau singgahi untuk mengajar, sebutlah
Fakultas Dakwah, Tarbiyah, Syariah mahupun Ushuluddin. Bahkan beliau
pernah menjabat Wakil Dekan Tarbiyah (1965-1966) di masa-masa transisi
pemerintahan Indonesia dari ORLA ke ORBA yang berdarah-darah itu. Dan
masih banyak lagi bentuk aktivitas keumatan dan keislaman beliau di masa
hidupnya, yang kalau diceritakan akan mengambil ruang yang lebih besar.
Sebagai pendidik di serata perguruan, tidak mencengangkan bila beliau mempunyai murid-murid yang ramai. Antaranya yang terkenal ialah Prof. Dr. Ali Hasjmi, Prof. Dr. Mansur Malik, Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Prof. Dr. Duski Samad, Prof. Dr. Tamrin Kamal, Prof. Dr. Edi Safri, Prof.
Dr. Sirajuddin Zar, Prof. Dr. Kurnia Ilahi, Prof. Dr. Rifyal Ka’bah,
Prof. Dr. Syaifullah SA, Dr. Syafruddin, Dr. Buchari Mukhtar, Dr. Sabiruddin Juli, Dr. Syari bin Sumin, Ustaz Haji Oemar Bakry (Penulis Tafsir Rahmat),
H.S.M Nasaruddin Latif (Bapak BP4 Indonesia), Dahlan Ibrahim (Menteri
Negara Urusan Veteran Kabinet Ali Sastromijojo II, 1956-1957), KH. Imam
Zarkasyi (Pengasas Ponpes Modern Gontor), dan ramai lagi. Bahkan mungkin
hampir separuh, kalau tidak boleh mengatakan semua professor yang ada
di lingkungan IAIN Imam Bonjol sekarang ini adalah bekas anak didiknya.
Karena itu, ada benarnya ungkapan Buya Haji Masoed Abidin (2011), “Beliau
itu seorang dosen yang luar biasa. Hari ini, justeru ramai dosen yang
biasa di luar. Meskipun bukan seorang professor, namun beliau telah ikut
melahirkan puluhan professor”.
Buya
Mawardi telah menghembuskan nafasnya yang terakhir pada pagi hari
Jumaat, 30 Desember 1994M bersamaan 27 Rajab 1415H, jam 05.50 WIB, di
Rumah Sakit Islam Yarsi, Bukittinggi (Yasminar, 2011). Ulama
kharismatik, guru penuh dedikasi dan penulis produktif itu tutup mata
dalam lingkungan usia 81 tahun dalam bilangan tahun masihi dan 83 tahun
dalam hitungan tahun hijri. Jasadnya dikebumikan di sebelah kiri mihrab
Masjid Perguruan Thawalib Padang Panjang. Semoga di tahun yang ke 99
tahun ini, alm. Buya Haji Mawardi senantiasa dalam rahmat dan kasih-Nya.
Demi mengenang jasa baik beliau, tulisan ini dihadirkan, agar kita
semua dapat merenung dan mengambil iktibar. Berharap tahun depan,
tulisan mengenang se-abad Buya Haji Mawardi akan lebih meriah dan
berisi! Amin.
No comments:
Post a Comment