Tanggapan Jurusan Sejarah UM dan Redaksi Komunikasi atas ”Satanisme Majapahit”
Kami berterima kasih pada Majalah “Komunikasi” Tahun 33 Nomor 277 November-Desember 2011 yang akhirnya bersedia memberikan reaksi atas munculnya tulisan Satanisme Majapahit dari edisi sebelumnya. Sebagaimana yang pernah kami nyatakan sebelumnya, kami sama sekali tidak berkehendak menyerang pihak manapun secara pribadi. Masukan kami pada majalah Komunikasi semata sebagai bentuk perhatian dan kecintaan kami terhadap warisan leluhur Nusantara.
Untuk kilas balik, kami lampirkan naskah ”Satanisme Majapahit” pada alamat http://www.scribd.com/doc/77086551/Satanisme-Majapahit-Oleh-Rakai-Hino.
Adapun dari kami juga masih menyisakan beberapa tanda tanya. Yaitu antara lain sebagai berikut.
1. Kami berterima kasih pada Bapak Deny Yudo Wahyudi yang alternatif wacananya sedikit banyak bisa menyejukkan suasana. Tulisan Bpk. Deny kami lampirkan pada alamat http://www.scribd.com/doc/77086544/Misteri-Candi-Sukuh-Oleh-Deny-Yudo.
Akan tetapi masih ada pernyataan beliau yang perlu saya tanggapi. Beliau berharap bahwa polemik ini juga dijawab oleh mahasiswa sehingga mereka bisa saling memberi argumen, bertanggung jawab terhadap gagasan dan ide yang disampaikan, dan yang terpenting menghargai paradigma berpikir sebagai salah satu kunci dalam tahapan metode sejarah maupun arkeologi, yaitu proses berinterpretasi (tapi harus didukung data, fakta, dan bukti temuan) yang pada akhirnya muncul generalisasi atau bahkan mungkin bangunan teori baru. Sebagai informasi, kami adalah alumni Universitas Negeri Malang, tentu saja pendidikan kami adalah tingkat perguruan tinggi dan paham etika dalam berargumen.
Perlu digarisbawahi bahwa penulis ”Satanisme Majapahit” sendiri memberikan penafsiran yang kurang berkenan bagi kami. Sahabat kami yang juga pemerhati Candi Sukuh merasa heran bagaimana mungkin sebuah relief bisa ditafsirkan dengan dangkal sebagai vas bunga? Sahabat kami menjelaskan bahwa yang disebut sebagai ”vas bunga” itu adalah simbol alat kelamin pria dan alat kelamin wanita yang saling berhadapan, kemudian disekelilingnya terdapat relief rantai mengelilingi keduanya. Arti yang disampaikan disini adalah bahwa itu bagian yang sakral untuk tidak “dimainkan”, sedangkan rantai menyiratkan bahwa setelah bertemunya keduanya dalam ikatan yang suci dan sakral maka keduanya harus dijaga dalam satu kesatuan yang sakral. Dalam istilah modern lebih dikenal dengan sebutan pernikahan yang suci. Oleh karena itu kami kurang sependapat bila Bpk. Mistaram mengisyaratkan bahwa Candi Sukuh sebagai pusat perguruan yang mengajarkan seks bebas (http://www.scribd.com/doc/77086531/Analisis-Satanisme-Majapahit-Oleh-Mistaram).
Kami pun tidak bisa menafikan adanya Illuminati, Aleister Crowley, atau Satanisme. Akan tetapi sumber-sumber teori konspirasi sangat subyektif sehingga agak sulit dipastikan kebenarannya karena informasinya yang masih simpang siur, terlebih pemahaman penulis tentang Tantra juga masih belum mumpuni. Oleh karena itu kesimpulan penulis yang menyatakan Tantrayana sebagai kebudayaan satanisme masih belum berkenan di hati kami.
2. Kemudian terkait dengan pernyataan Bpk. Deny Yudo Wahyudi yang mengasosiasikan amerta dengan air mani, di sini kami hanya akan mengajukan perbandingan penafsiran kisah Bhima sesuai yang disampaikan para mentor kami, tentu saja hal ini disampaikan bukan untuk melawan argumen beliau.
Dikisahkan, Bhima disuruh Pandita Drona untuk mencari ‘Kayu Gung Susuhing Angin’ di puncak Gunung Reksamuka yang terkenal angker, akan tetapi tipu muslihat Shakuni yang memperalat Pandita Drona tersebut gagal untuk mencelakai Bima. Selanjutnya Bima diperintah lagi untuk mencari Tirta Perwita Suci di tengah Samudera Minangkalbu. Walaupun seluruh kerabat Bima mencegahnya dan memberi tahu bahwa perintah itu adalah bagian dari muslihat Shakuni untuk mencelakainya, namun karena Drona adalah Guru Bima yang sangat dihormati, maka Bima tetap akan melaksanakan perintah Gurunya.
Tuhan adalah “Sangkan Paraning Dumadi”, asal usul dan tujuan akhir makhluk. Leluhur kita menyebutnya “tan kena kinaya ngapa”,tak dapat disepertikan, Acintya. Perjalanan manusia menemukan Tuhannya digambarkan seperti perjalanan Bhima, satria Pandawa mencari Tirta Perwita Suci. Sebelum bertemu dengan Dewaruci, Bhima dalam hutan belantara dunia harus menaklukkan para raksasa keduniawian, dan di samudera kehidupan harus mengalahkan naga ganas ego yang membelitnya dengan kuat dan erat. Dengan kesungguhan hatinya, semua penghalang dapat diatasi dengan kuku pancanaka, pengendalian panca indera, dan Bhima bertemu dengan Dewaruci, wujud kembarannya yang kecil. Dewaruci meminta Bhima memasuki dirinya lewat telinganya. Pada awalnya Bima ragu-ragu, wujud dirinya besar sedang wujud Dewaruci kecil. Dewa Ruci mengatakan, besar mana antara diri Bhima dengan samudera dan jagad raya, karena seluruh jagad raya ini bisa masuk ke dalam dirinya.
Leluhur kita menggambarkan wadag, raga ini sebagai warangka, sarung keris, sedang ruh kita adalah curiga, kerisnya. Manusia hidup di alam ini disebut curiga manjing warangka, keris di dalam sarungnya. Setelah manusia sadar atas ketidaksempurnaan duniawi ini dan dapat melepaskan dari belitan naga ganas mind-ego dan yakin pada dirinya yang sejati, maka dia dapat memasuki dirinya yang sejati, seperti Bima yang memasuki Dewaruci. Di dalam diri Dewaruci ini ternyata sangat luas, alam pun berada pada dirinya. Leluhur kita menggambarkan peristiwa ini ibarat warangka manjing curiga, sarung keris masuk kedalam keris, kodok ngemuli lenge, katak menyelimuti liangnya, Manunggaling Kawula Gusti, bersatunya makhluk dengan Keberadaan. Selama ini manusia diibaratkan golek banyu apikulan warih, manusia mencari air sedangkan dia sendiri memikul air. Manusia tidak paham akan jati dirinya.
Kemudian Bhima diwejang oleh Sang Dewaruci. ”Hai Bhima, hidup ini tidak mudah. Ketahuilah ke mana arah tujuanmu. Dan bila engkau tidak tahu, bertanyalah kepada orang yang tahu. Banyak orang yang mengetahui sesuatu hanya karena ia menirukan apa yang dikatakan orang kepadanya. Demikian pula halnya orang belajar kepada Guru. Kalau belum tahu siapa sebenarnya sang Guru itu, maka murid akan sesat dalam menerima ajarannya. Setelah itu Bima diwejang tentang ‘ngelmu sangkan paraning dumadi’, Inti Ilmu Kehidupan, sehingga Bhima paham siapa sebenarnya yang memerintah dan siapa yang diperintah dalam diri Bhima sendiri.
Perintah Guru Drona itu sesungguhnya sanepan, simbolis untuk memahami Ilmu Kehidupan. Kayu Gung Susuhing Angin, pohon raksasa sarangnya angin di puncak Gunung Reksamuka, penguasa wajah. Artinya adalah batang hidung, sarang untuk bernapas yang terletak di wajah manusia sendiri, ‘reksamuka’. Tujuannya agar orang mengetahui bahwa napas itu adalah pokok hidup manusia. Bila napas berhenti maka itulah tandanya orang itu sudah mati. Bhima diminta melaksanakan meditasi. Sedangkan Tirta Perwita Suci di tengah Samudera Minangkalbu adalah sumber kehidupan yang hanya bisa dikenali dengan bantuan kalbu. Makna yang disimbolkannya adalah, untuk mengenal sumber kehidupan hanya bisa dicapai dengan bantuan kalbu atau nurani kita sendiri.
Bhima sangat dihormati masyarakat Nusantara, Arca Kunto Bimo bahkan ditempatkan di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang sebagai tanda bahwa Raja pembangun Candi Borobudur yang beragama Buddha pun menghormati Bhima, idola masyarakat setempat. Arca Bimo atau Kunto Bimo digambarkan sebagai Bhima duduk bersila dengan sikap tangan dharmacakramudra. Ini isyarat pergerakan roda dharma. Bhima dalam perjalanan spiritualnya di Samudera Hindia menemukan jati dirinya setelah bertemu Dewaruci yang lidahnya berupa Acyntia, Yang Tak Dapat Diserupakan, kemudian dirinya digambarkan berada di dalam stupa dan telah mencapai ke-Buddha-an. Setiap ada kunjungan tamu negara, selalu ada acara merogoh stupa Kunto Bimo. Merogoh Kunto Bimo bahkan dianggap sebagai kepercayaan dalam tradisi setempat. Jika wanita berhasil menyentuh jempol kaki patung Buddha, atau pria menyentuh kelingking patung Buddha, maka keinginannya akan terkabul.
Kain poleng Bhima yang juga pernah dipakai Hanuman rupanya kini sudah menjadi bagian dari kehidupan religius umat Hindu di Bali. Makna filosofis saput poleng rwabhineda itu adalah dua sifat yang bertolak belakang, yakni hitam-putih, baik-buruk, utara-selatan, panjang-pendek, tinggi-rendah yang melambangkan ketegasan dalam ulah spiritual.
Arca altar kura-kura di kompleks Candi Sukuh juga bukan sekedar pajangan atau tempat persembahan. Kisah tentang Amerta juga berhubungan dengan arca altar kura-kura yang mengabadikan kisah Kurma Avatara selama terjadi perebutan Amerta antara para dewa dan asura. Banyak sekali makna tersembunyi di balik kisah tersebut yang harus di-decode untuk diselami dan dijadikan pelajaran yang berharga bagi generasi muda.
3. Kami juga berterima kasih pada Bapak Mistaram, sebagai Ketua Penyunting majalah Komunikasi, yang juga turut serta memberikan analisis atas tulisan ”Satanisme Majapahit” di http://www.scribd.com/doc/77086531/Analisis-Satanisme-Majapahit-Oleh-Mistaram. Beliau menyatakan bahwa gagasan dibangunnya candi Sukuh dapat dilakukan suatu analisis interpretasi bahwa ide dan gagasan dibangunnya candi itu bukan untuk persembahan pada Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Mahakuasa), tetapi dipersembahkan kepada yang lainnnya (satan). Kami merasakan bahwa Bpk. Mistaram mengamini kesimpulan Sdr. Rakai Hino yang menyatakan Tantrayana sebagai satanisme. Dalam beberapa aspek kami masih belum sependapat dengan beliau, akan tetapi kami sangat mengapresiasi dan berterima kasih pada beliau karena ini menjadi pelajaran yang berharga bagi kami.
Kesimpulan singkat dari kami, Candi Sukuh bukan candi porno seperti yang lazim dinyatakan masyarakat awam dan kami tetap keberatan atas kesimpulan para ahli sejarah yang mengasosiasikan Candi Sukuh dengan kebudayaan satanisme. Demikian sedikit tambahan dari kami atas tulisan Bpk. Deny Yudo Wahyudi yang mewakili Jurusan Sejarah UM dan Bpk. Mistaram yang mewakili redaksi majalah Komunikasi. Adapun bila ada pernyataan kami yang kurang berkenan, kami mohon maaf.
Moch. Haikal, S.Si
No comments:
Post a Comment